Tradisi Pengantin Baru di Aceh
Istilah bulan madu tidak dikenal di daerah yang kerap diidentikkan sebagai tempat Islam bermula di nusantara itu. Setelah ijab kabul di depan teungku peugatieb (penghulu),
pengantin pria tidak diperkenankan untuk begitu saja memboyong istrinya
ke rumah sendiri. Alasannya, ada keharusan untuk pengantin lelaki harus
berdiam dulu di rumah mertua atau keluarga pihak perempuan. Ada apa di
balik tuntutan tersebut? Berikut catatan saya berdasar pengamatan
pribadi sepanjang 20 tahun terakhir.
Umumnya pengantin baru, dunia tentunya terasa demikian indah bagi
mereka. Acap juga malah berpandangan, harusnya yang tersisa di dunia
hanya mereka saja, sedang yang lainnya boleh menghilang ke mana saja.
Demikian guyon yang menggambarkan perasaan sepasang anak manusia yang
baru berlabuh mengayuh perahu rumah tangga. Isyarat bahwa begitu berarti
saat-saat mereka hanya berdua saja.
Namun begitu, keinginan untuk hanya berdua saja harus dilupakan jika
pengantin tersebut menjalani pernikahan di Aceh. Pengantin lelaki harus
menahan risih untuk menjalankan satu keharusan yang mendekati kewajiban
untuk hidup dulu bersama mertua, atau orang tua pengantin perempuan.
Tentu saja, ketentuan ini menyimpan banyak filosofi dan pelajaran untuk
kedua pengantin muda tersebut.
Artinya, kendati lazimnya dalam rumah tangga masyarakat timur, cenderung
berwarna patriarki atau lelaki sebagai kepala rumah tangga, namun di
sini terdapat pesan kerendah-hatian seorang pemimpin. Pengantin pria
harus mengikuti istri, berada di rumah orang tua istri, mengenali
kehidupan keluarga istri lebih dekat. Ini mencerminkan bahwa lelaki
harus menghargai istrinya, keluarganya, dan juga untuk membantunya
mengenal istrinya sendiri lebih dalam. Ini sering kali berangkat dari
alasan, bahwa seorang istri kerap dipengaruhi oleh seperti apa ibu yang
sudah membesarkannya.
Di rumahnya, si istri akan mendapat gemblengan lebih lanjut, tentang
seperti apa ia harus melayani suami. Juga diajarkan lebih dalam seperti
apa menjalankan rumah tangga dan bersikap terhadap suami. Apakah
kemudian pengantin lelaki juga akan digembleng oleh keluarga istri?
Tentu saja tidak. Justru, kerap saya perhatikan, pihak mertua si lelaki
akan sedikit menjaga jarak dengan menantunya itu. Bukan karena apa-apa,
melainkan karena dipandang tidak santun atau tidak etis jika mertua
tidak bisa menjaga sikap di depan menantu, dan sebaliknya.
Meski demikian, paling tidak lelaki yang baru menjalankan peran sebagai
suami ini, di sini juga bisa menjalankan peran lebih dalam kapasitas ia
sebagai suami. Di sana, ia terkadang menanggung belanja harian untuk
sekeluarga. Sebagai pembiasaan pengorbanan untuk istri dan keluarga yang
sudah membesarkannya. Walaupun, acap terjadi, justru mertua atau orang
tua perempuan tersebut lebih memilih tidak meminta apa-apa dari suami
anaknya. Bahkan, tidak segan-segan mereka justru yang menyediakan
kebutuhan untuk anak dan menantunya itu. Sedang jika mereka punya
penghasilan dan uang lebih, diharapkan bisa menjadi tabungan untuk kelak
bisa digunakan mereka sendiri, untuk bikin rumah atau modal usaha lebih
lanjut.
Sampai kapan seorang suami harus berada bersama mertuanya? Biasanya
sampai memiliki satu anak. Itu juga karena kemungkinan bersandar pada
psikologi bahwa proses kelahiran pertama, sepasang suami istri itu
dipandang belum berpengalaman. Jadi, dengan demikian membantu mereka
untuk lebih paham, menjalani proses istri melahirkan dan merawat bayi
yang baru lahir.
No comments:
Post a Comment