Judul diatas di ambil dari sepotong ayat
yang dikatakan oleh seorang Nabi yang bernama Ya’qub. Ketika itu telah
datang kepadanya tanda-tanda kematian, maka ia pun bertanya kepada
anak-anak-Nya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”, maka anak-anaknya
menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya.”
Hal ini tersirat di didalam surat Al-Baqarah ayat 133. Berikut kejelasan ayatnya.
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ
حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ
بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Yakub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:
“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
Demikian perhatiannya seorang ayah yang
mengkhawatirkan anak-anaknya nanti atas apa yang akan mereka sembah.
Ayahnya tidak mengkhawatirkan pekerjaan, usaha dan hal-hal dunia lainnya
yang ada pada anaknya. Tetapi yang sangat ditekankan adalah nasib
akherat bagaimana kedepannya.
Hal itu merupakan wasiat agung dari ayah
kepada anak-anaknya. Dimana hari ini jarang sekali seorang ayah
mewasiatkan anaknya untuk selalu mengingat akherat.
Dalam persaingan dunia yang begitu
ketat, maka akan menciptakan abnaud dunya yang terus bermunculan. Orang
tua semakin takut terhadap buah hati mereka akan nasib dunianya kelak.
Sehingga potongan ayat diatas bisa akan berubah menjadi “apa yang kamu
makan sepeninggalku” atau “makan apa jika aku telah mati nanti”.
Memang kekhawatiran orang tua kepada
anaknya adalah lumrah dan fitroh. Namun jika tidak didasari agama yang
kuat, maka solusi yang terjadi sebagai langkah selanjutnya akan berbeda.
Orang tua yang bodoh agama menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya
dengan niatan setelah lulus nanti akan banyak lowongan pekerjaan yang
memburunya. Agar sepeninggalnya ia bernasib baik seputar dunia dan tidak
kelaparan. Semua orentasinya hanya dunia. Seolah kalau berhasil dalam
hal dunia, menjadi orang yang sukses segalanya. Bahkan meski ia
menyekolahkan keperguruan tinggi yang berbasis islam pun tetap niatnya
tak berubah.
berbeda dengan orang tua yang paham
agama. Ia berusaha mendidik anaknya paham terhadap akherat. meski ia
menyekolahkannya sampai keperguruan tinggi tetapi hal itu bertujuan
untuk kepentingan akherat. orang tua seperti ini tidak khawatir masalah
nasib dunia anaknya atau makan apa sepeninggalnya jika memang akherat
telah didapatkan dan diamalkan. Karena bila akherat telah dikuasai dan
teramalkan maka dunia akan datang kepadanya dengan keadaan tunduk. Dan
tatkala sudah seperti itu, bukan dia yang mencari dunia, tetapi dunialah
yang mencari dan memburunya.
Sebenarnya Allah telah menjamin rizki setiap makhluk dibumi ini tanpa terkecuali. Allah berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (QS.Hud: 6).
Bahkan ketika kita masih di dalam Rahim,
rizki telah ditulis bersamaan dengan amalan, ajal, nasib baik atau buruk
ketika didunia sebagaimana dalam hadist Rosul. Namun yang patut
disayangkan adalah ketika dunia menjadi prioritas utama. Dan hal itu
ditanamkan kepada anak-anak mereka. Maka akhirnya melahirkan anak-anak
dunia yang menjadi generasi penghambanya. Naudzubillah min dzalik.
dalam firman lainnya menyebutkan,
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qoshash: 77).
Dari ayat ini bisa ditarik sebuah poin:
-mencari perbekalan untuk kebahagiaan di negeri akherat
-tidak melupakan bagian dari nikmat dunia
Maka poin yang pertama adalah wajib
mencari akherat. Dan poin yang kedua hanya sekedar mengingatkan agar
tidak melupakan dunia sebatas menyambung hidup demi mencari bekal untuk
akherat nanti. adapun jika ada kelebihan harta, itu diinfakkan kepada
kaum muslimin atau ia gunakan hal yang bermanfaat untuk mendekatkan
kepada akherat. adanya dunia membantu dirinya agar mudah mendapatkan
perbekalan untuk perjalanan yang panjang. karena dunia itu sendiri
adalah tempat bercocok tanam yang akan dituai nanti di sana.
Contoh yang layak dan wajib ditiru dalam
reaksi terhadap dunia dan tidak berlebih-lebihan di dalamnya adalah para
sahabat yang senantiasa ada disisi Nabi hingga wafat. mereka menjadikan
dunia hanya ada digenggaman. sehingga tatkala dunia ada digenggamannya
hilang atau diberikan kepada orang lain, mereka rela dan tidak merasa
kehilangan. Tidak difikirkan sampai prustasi, Atau bahkan naudzubillah
sampai bunuh diri jika harta bendanya di curi atau tertipu. Dan
menjadikan akherat ada dihati mereka. hasilnya segala amalan ibadah di
super maksimalkan dalam beramal setelah mendapatkan ilmu dari Rosul.
Dunia bagi mereka seperti bangkai yang
tidak ada artinya. Sejarah telah mengabadikan kisah mereka. salah
satunya ketika bagaimana mereka berinfak. tidak ada terselip keraguan
ketika menyerahkan harta dalam skala besar. Bahkan ada salah satu
sahabat yang seluruh hartanya diinfakkan, sedangkan keluarganya
diserahkan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Begitu juga ada sahabat yang berinfak
dengan kafilah dagangnya sebanyak 700 unta berserta muatannya. Ketika
kafilah itu masuk ke Madinah terdengar hiruk pikuk. sehingga bertanya
Ummul Mukminin. “Suara apakah ini?” maka dijawab, “telah datang kafilah
Abdurrahman bin Auf”. Ummul Mukminin berkata, ”Sungguh aku mendengar
Rasulullah bersabda, ‘Aku melihat Abdurrahman masuk surga dengan keadaan
merangkak’.” Ketika mendengarkan berita tersebut, Abdurrahman
mengatakan, ”Aku ingin masuk surga dengan keadaan berdiri. Maka
diinfakkanlah semua kafilah dagang tersebut.” Wallahu musta’an
Dibandingkan hari ini untuk infak secara
pribadi, tidak ada yang mampu menyamai para sahabat. Lebih-lebih pahala
dan keutamaan yang mereka dapatkan.
Wajar saja begitu mulianya mereka,
karena sahabat adalah sebaik-baik generasi pertama yang mendampingi
dakwah Rosul hingga tersebar keseluruh jazirah Arab. Tidak ada yang
mampu mengungguli sifat dan akhlak mereka. karena mereka adalah manusia
yang telah Allah ridhoi sebagai hambanya.
Meski untuk mengejar seperti mereka
adalah suatu hal yang mustahil, tetapi minimal, ada usaha untuk beramal
seperti apa yang mereka lakukan. Seperti orangtua mereka yang terus
melahirkan abnaul akhiroh (anak-anak pecinta akherat).
Tidak ada jalan pasti kecuali dengan
thalabul ilmi yang akan mampu menghilangkan kebodohan orang tua terhadap
agama. Kalau memang orang tua tetap bodoh dengan agamanya, maka
anaknyalah yang harus sadar dan melek kepada agamanya sendiri yang
kemudian membenahi diri. Meski orang tua telah menyekolahkan keberbagai
sekolah ataupun keperguruan tinggi yang tak ada sangkut pautnya masalah
akherat, tetap tak menutup kemungkinan dapat belajar islam diberbagai
majelis ilmu. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran akan agamanya dan
bersungguh-sungguh mencari ilmu-Nya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).
karena orangtua tidak bisa merubah
persepsinya “makan apa setelah sepeninggalku nanti”, maka anaknya lah
yang akan merubah persepsi orang tua tersebut dengan bertahap tanpa
meniadakan birrul walidain kepada mereka. Bukan hal yang mudah agar
persepsi orang tua berubah kepada fitrohnya. Butuh usaha dan
kesungguhan. Namun hasil yang didapat tidak akan pernah sia-sia. Akan
dirasakan sampai ketika pindah alam. Bahkan didunia pun akan merasakan
atas apa yang telah ia lakukan kepada orang tuanya, sebagai bentuk
hadiah sebelum diakherat mendapat pahala yang lebih besar.
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment