"Rumoh Aceh" rumah tradisional Aceh
MUNGKIN kalau ditanya hampir semua orang di Aceh pasti tahu yang mana rumoh Aceh (Rumah Aceh merupakan rumah tradisional Aceh, -pen).
Tapi kalau ditanya dimana sekarang masih bisa ditemukan rumoh Aceh yang asli, rata-rata akan menjawab ada di Banda Aceh, tepatnya di Museum Negeri kota Banda Aceh diseberang Pendopo berdekatan dengan makam Sultan Iskandar Muda.
Tapi kalau ditanya dimana sekarang masih bisa ditemukan rumoh Aceh yang asli, rata-rata akan menjawab ada di Banda Aceh, tepatnya di Museum Negeri kota Banda Aceh diseberang Pendopo berdekatan dengan makam Sultan Iskandar Muda.
Lalu,
apakah cuma ada di Banda Aceh saja yang masih mempunyai rumoh Aceh yang
asli? kalau mau ditelusuri secara menyeluruh hampir diseluruh kabupaten
dan kota di Aceh, rata-rata masih “menyimpan” barang langka rumoh Aceh
ini.
Yang menjadi tanda tanya adalah apakah semua orang tahu dimana keberadaannya dan satu hal lagi kita harus ke gampong-gampong yang boleh dikatakan ke daerah pedalaman Aceh untuk menemukan rumoh Aceh ini yang masih asli dan otentik.
Seperti di Aceh Besar, disini masih bisa banyak ditemukan rumoh Aceh dengan keasliannya. Salah satu rumoh Aceh Cut Nyak Dhien yang sekarang dijadikan sebagai museum, tepatnya berada di Desa Lampisang, Kecamatan Lhok Nga. Kemudian ada juga rumoh Aceh Cut Meutia yang bisa dijumpai di Desa Mesjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara.
Jika mau
menelusuri berbagai pelosok desa di Aceh Besar atau di Aceh lainnya,
kemungkinan besar berbagai etnis keaslian rumoh Aceh masih bisa
ditemukan.
Pada
postingan lain, saya sempat melakukan ekspedisi bersama rekan-rekan Aceh
Blogger Community Reg. III Bireuen (X-ABC III Bireuen) untuk menelusurikediaman almarhum ulama sufi Aceh, Tgk. Chik Awe Geutah di
kecamatan Peusangan Siblah Krueng. Nah, disini kami juga menemukan
rumoh Aceh yang sampai sekarang masih dijaga keasliannya (foto di atas,
-pen), bahkan perkarangan yang masih identik dengan konsep ratusan tahun
lalu.
Apa itu Rumoh Aceh?
Rumoh
Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam sesuai dengan
arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian
sekitar 2,5 - 3 meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima
ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Merombak
rumoh Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah
ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau
menghilangkan tiang bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah.
Karena bagian ini yang sering disebut dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe reunyeun (serambi bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang selalu menghadap ke timur.
Rumoh
Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe
lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan
tahun 1800-an) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten
Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud
(Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering
disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi
penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.
Saat
pembuatan film sejarah Pahlawan Nasional Tjut Nyak Dien dalam Perang
Aceh - Belanda, sang sutradara Eros Djarot, memilih rumoh Aceh besar
tersebut untuk mengisi beberapa scene dari filmnya tersebut.
Memasuki
pintu utama rumoh Aceh, kita akan berhadapan dengan beberapa anak
tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya. Untuk tingginya sendiri,
pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi orang dewasa.
Biasanya
tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk
harus sedikit merunduk, konon makna dari merunduk ini menurut
orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat
memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya.
Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang
Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang
sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada
disambut oleh tuan rumah.
Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan
kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan
meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara
lesehan atau bersila di atas tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang ada di rawa lalu diproses dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.
Bagian-bagian Rumoh Aceh
Saat melihat rumoh Aceh, kita akan menjumpai terlebih dahulu dengan bagian bawahnya. Bagian bawah ini akrab disebut dengan yup moh/miyup moh, yakni bagian antara tanah dan lantai rumah.
Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita dapati berbagi benda, seperti jeungki(penumbuk padi) dan kroeng (tempat menyimpan padi). Tidak hanya itu, bagian yup moh juga
sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain
songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan
sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
Beranjak ke bagian dalam rumoh
Aceh merupakan tempat dimana segala aktifitas tuan rumah, baik yang
bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Pada bagian ini, secara umum
terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang
belakang.
Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan
ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan
ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki,
dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari.
Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara
kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk
makan bersama.
Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah
induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, dibagian ruangan ini
terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut
dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini pula akan
kita dapati dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri
dengan posisi menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang
menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang
menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya ditempat untuk tidur kepala keluarga, dan anjong untuk tempat tidur anak gadis.
Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini. Sedang orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot,
selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat
upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun,
serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering
dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain
itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk
berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan
seperti menenun dan menyulam.
Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakangseuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot.
Setelah bagian bawah dan bagian dalam, kita lihat bagian atas dari rumoh Aceh. Tentunya bagian ini terletak di bagian atas seuramoe teungoh. Pada bagian tersebut sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.
Ternyata
membuat rumoh Aceh bukan hal mudah, jika dilihat dari segi bahan-bahan
bangunan yang digunakan bisa susah kepayang untuk dicari saat ini,
terutama kayu yang merupakan bahan utamanya. Kayu sendiri banyak
digunakan untuk membuattameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng,
dan lain sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadikan sebagai papan,
ini biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.
Trieng (bambu) juga tidak kalah penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah satu gunanya untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat
atap), dan lain sebagainya. Enau atau aren juga adakalanya digunakan
untuk membuat lantai dan dinding selain menggunakan bambu, daun Enau
sendiri bisa juga sebagai pengganti daun rumbia untuk atap rumoh Aceh.
Ada juga taloe meu-ikat (tali pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang untuk saat ini biasa digunakan tali plastik. ‘Oen meuria (daun
rumbia, buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu
bagian penting untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh. Dan yang terakhir
setelah ada daun rumbia, tentu peuleupeuk meuria (pelepah
rumbia). Salah satu kegunaan pelepah rumbia digunakan untuk membuat
dinding rumah, seperti rak-rak, dan sanding. Namun, pelepah ini bukan
semata-semata pengganti dari papan.
Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan
terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui
rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang
di yakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap
lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk
panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya
dari papan, dan atapnya dari rumbia.
Pemanfaatan
alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah
yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat
dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan
tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya
dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari
timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam
atau belakang yang sakral berada di barat.
Arah
Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner
dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan
dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu
berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak
tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial
penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah
penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan
berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
- Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
- Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
- Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai;
- Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
- Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Wujud
dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam
menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur
rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya
merupakan bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi
lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang
berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya.
Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap
sistem kawalan sosialuntuk menjamin keamanan, ketertiban, dan
keselamatan wargagampong (kampung).
Bagi
masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu
sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi
beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang
harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh
Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan
sebagainya.
Musyawarah
dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong
dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa
kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan
kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat
diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah
dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan
keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah
dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat
pada aturan.
Sebagai
contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak
terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta
ketertiban gampong. Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam
juga dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan
selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat.
Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya. Tali hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri)
mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya
yang rentan menyerang atap karena bahan dari rumbia yang begitu mudah
terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut.
Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam
ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.
Dalam
perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan
rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif
keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional
Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk
penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah
Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.
Jika
arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut
akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan
juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar,
baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam
masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai
religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil,
jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk
membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.
Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong,
ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan,
seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga
nilai kesopanan dan etika bermasyarakat.
Keberadaan
tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat
untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas
yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau
saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang
laki-laki, maka “pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat
(baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian,reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Rumoh Aceh Kini
Ada
salah satu pesantren di Lueng Putu, Kabupaten Pidie Jaya, yakni Dayah
Jeumala Amal yang ternyata sengaja membuat rumoh Aceh di dalam kompleks
gedung-gedung santri, hal ini diyakni menjadi simbol perpaduan
nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern kontemporer yang masih
bisa dijaga sebagai nilai luhur peninggalan pendahulu.
Seiring
perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan
efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh
Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah
tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin
sedikit.
Masyarakat
lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang
pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang
pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya
perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena
kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat
rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Saat ini, taksiran untuk membuat rumoh Aceh memang terbilang mahal, salah seorangutoh (tukang)
dari Peukan Pidie, Syafie menuturkan bahwa membangun rumoh Aceh yang
sedang pada masa sekarang bisa berkisar Rp 20 juta, itu terdiri dari
bahan-bahan kayu, atap daun rumbia yang bagus dan semua bagian rumah
bisa menghabiskan uang lebih dari Rp 75 juta. Kalau yang besar, tidak
kurang Rp 300 juta, jika melihat maksud dari yang besar ini tidak lain
adalah rumoh Aceh yang memiliki 80 tiang.
Dengan
mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka kita akan
mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di
dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh
berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap
simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan
oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Satu hal
lainnya, walaupun ketidakmampuan kita untuk membangun rumoh Aceh
seperti sediakala dulu, paling tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe ini
menjadi hak atas masyarakat Aceh semua. Karena dari setiap pemaknaan
rumoh Aceh, setidaknya kita bisa mengambil berbagai pelajaran berarti
tentang Aceh, dan masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment