Macam-Macam Keadaan Nafsu.
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam
yang telah memberikan nikmat iman dan islam kepada kita, shalawat
beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya yang telah mendakwahkan risalah islam
sehingga kita mengetahui antara yang haq dan bathil, serta kepada para
orang-orang yang selalu istiqamah mengikuti jejak mereka samai hari
kiamat.
Materi Ahwalun nafs/macam-macam keadaan nafsu adalah termasuk materi yang sangat penting diantara materi-materi lainnya dari pembahasan tazkiyatun nafs,
maka dari itu kami membahas materi ini. Diantara pentingnya mempelajari
materi ini adalah mengetahui tentang macam-macam keadaan nafsu adalah
untuk mengetahui nafsu baik dari sisi positif ataupun sisi negatifnya.
Dan dengan mengetahuinya kita bisa menghindar dari sisi negatif nafsu
dan memanfaatkan sisi positifnya. Kemudian setelah mengetahui tentang
nafsu ini, maka kita introspeksi diri kita masing-masing sebaik apakah
amalan kita? Disamping itu kita juga perlu mengetahui apakah nafsu itu
bermacam-macam? Atau hanya ada satu saja?
Pengertian Jiwa/Nafs
Nafsu secara etimologi berarti Gejolak/membongkar.[1]
Adapun nafsu secara terminologis nafsu adalah dorongan-dorongan alamiah
manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan/kepuasan hidupnya. Al
Ghazali mendefinisikan bahwa nafsu adalah , “kelembutan Ilahi”. Dengan
demikian nafsu dapat dipahami sebagai keadaan yang sesungguhnya dari
wujud atau perkembangan pada suatu tingkatan tertentu dalam pribadi
secara keseluruhan.[2]
Mengenai nafsu ini, para penempuh jalan
menuju Allah dengan beragam cara dan metode-bersepakat bahwa nafsu
adalah faktor yang menghalangi hati untuk sampai kepada Allah. Mereka
juga bersepakat, tidak ada seorang pun yang bisa masuk dan sampai kepada
Allah kecuali jika sudah membunuh nafsu tersebut, meninggalkan,
menyelisihi, memenangi pertarungan atasnya.[3]
Mengikuti nafsu dan tidak memiliki kontrol agama membuatnya sulit untuk
bisa membawanya bertaqwa kepada Allah terkhusus dalam menjauhi apa yang
diharamkan Allah dan rasul-Nya.[4]
Begitulah, manusia itu ada dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan, dikuasai dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar tunduk di bawah perintahnya. Kedua, manusia
yang berhasil memenangi pertarungan melawannya. Ia mampu mengekang,
menundukkan, sehingga nafsu pun tunduk di bawah perintahnya.
Sebagian orang arif berkata,”akhir dari perjalanan para Thalibin adalah ketika mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapapun yang demikian keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang dikalahkan nafsunya, berarti telah gagal dan hancur. Allah berfirman,
Sebagian orang arif berkata,”akhir dari perjalanan para Thalibin adalah ketika mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapapun yang demikian keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang dikalahkan nafsunya, berarti telah gagal dan hancur. Allah berfirman,
“Adapun
orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya. Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”(Q.S An Nazi’at : 37-41)
Nafsu itu menyeru kepada sikap durhaka
dan mendahulukan kehidupan dunia. Sedangkan Allah memerintahkan
hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsu. Jadi,
hati manusia itu ada diantara dua penyeru. Kadang kala ia condong kepada
yang satu, dan kadang pula condong kepada lainnya. Disinilah cobaan dan
ujian.
Dalam Al Quran Allah menyebut nafsu dengan tiga sifat; muthma’innah, lawwaamah dan ammarah bis-su’.
Setelah itu ulama’ berbeda pendapat;
apakah nafsu itu satu dan tiga adalah sifatnya? Ataukah setiap manusia
itu memiliki tiga nafsu?.Pendapat pertama adalah pendapat fuqaha’ dan para mufassir. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ahli tasawwuf. Tetapi
pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara dua pendapat ini. Sebab
memang nafsu itu hanya ada satu, jika ditinjau dari sisi dzatnya; dan terbagi menjadi tiga, jika ditinjau dari sisi sifatnya.[5]
- Nafsu Muthma’innah
Apabila nafsu tenang dan tentram dengan
dzikrullah tunduk kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, serta lembu
merasa dekat dengan-Nya, maka ia disebut Nafsu Muthma’innah.
kepadanya dikatakan-ketika menemui ajalnya,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”(Q.S Al Fajr : 27-28).
Ibnu Abbas menafsirkan muthma’innah dengan الصادقة ash-shadiqah[6],
yang membenarkan kebenaran. Abu bakar jabir Al jazairi menafsirkan
Muthma’innah denganصادق وعد الله ووعيده في كتابه وعلى لسان رسوله
Kebenaran janji Allah dan Ancaman-Nya baik melalui kitab ataupun melalui
utusan-Nya.[7] Qatadah berkata,”yaitu seorang mukmin yang nafsunya tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allah. Tenang di pintu ma’rifah terhadap asma’ dan sifat-Nya
dengan berdasarkan kabar dari-Nya(Al Quran) dan dari rasul-Nya(As
Sunnah). Tenang atas kabar yang datang tentang pa yang terjadi setelah
kematian, alam Barzakh, dan kejadian di hari kiamat, seakan-akan melihat dengan mata kepalanya sendiri(ainul yaqin).
Tentram atas taqdir Allah, menerima dan meridhoinya, tidak benci dan
berkeluh-kesah, tidak pula terguncang keimanannya, tidak putus asa atas
segala sesuatu yang lepas darinya, dan tidak berbangga dengan apa yang
dimilikinya. Sebab, semua musibah telah ditaqdirkan oleh-Nya jauh
sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum ia diciptakan.
Allah berfirman,
“Tidak ada suatu musibah pun yang
menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S At Taghabun : 11)
Tidak sedikit dari salaf yang
menafsirkannya sebagai: seseorang yang ditimpa musibah, ia mengerti
bahwa musibah itu datang dari Allah, sehingga ia ridha dan pasrah.
Adapun yang dimaksud thuma’ninah
adalah ketenangan seseorang dalam melaksanakan perintah dengan ikhlas
dan setia. Tidak mendahuluinya dengan satu keinginan ataupun hawa nafsu,
juga bukan karena taqlid. ia tidak dihinggapi suatu syubhat yang
mengaburkan kabar-Nya, atau syahwat yang bertentangan dengan
perintah-Nya. Bahkan jika suatu ketika syubhat dan syahwat itu datang,
ia akan menganggapnya sebagai gangguan-yang baginya lebih baik terjun
dari langit ke bumi daripada mengecapnya, walau sesaat. Inilah yang
dimaksud Sharihul Iman(iman yang jelas). Nafsu muthma’innah juga terjaga dari kegelisahan untuk bermaksiat dan gejolaknya, ia selalu menuju taubat dan kenikmatan Allah.
Bila diri tenang telah berpindah dari
keraguan kepada keyakinan; dari kebodohan kepada ilmu; dari kelalaian
kepada dzikir; dari khianat kepada taubat; dari riya’ kepada ikhlas;
dari kedustaan kepada kejujuran;dari kelemahan kepada semangat yang
membaja; dari sifat ujub kepada ketundukan dan dari kesesatan kepada
ketawadlu’an, ketika itulah nafsu telah tentram, muthma’innah. Pondasi dari itu semua adalah yaqdhah(kesadaran).
Kesadaranlah yang menyibak kealpaan dan kelalaian diri. Ia pulalah yang
menampakkan-baginya- taman surga. Buah dari yaqdhah adalah memanfaatkan
seluruh waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan
langkah awal perjalanan nafsu muthma’innah menuju Allah dan negeri
akhirat.
- Nafsu lawwaamah
Nafsu lawwaamah adalah nafsu yang selalu
berubah keadaan; sering berbalik, berubah warna. Kadang ia ingat, kadang
juga alpa. Kadang ia sadar, kadang berpaling. Kadang ia cinta, kadang
benci, kadang ia gembira, kadang sedih. Kadang ia ridha, kadang murka.
Kadang ia taat, dan kadang ia khianat.
Sebagian orang mendefenisikannya sebagai
nafsu seorang mukmin. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang mukmin itu
selalu mencela dirinya. Ia terus berkata, “Apa yang kau inginkan dari
semua ini? Mengapa kau lakukan ini ? Sungguh ini lebih baik daripada
yang ini! Atau yang semisalnya.”
Ada juga yang mengartikannya lawwaamah
dengan celaan pada hari kiamat. Pada hari itu setiap pribadi mencela
dirinya sendiri. Jika ia durhaka, atas kedurhakaannya, dan jika seorang
yang taat, atau keteledoran dan kekurangannya.
Ibnu Qoyyim berkata, “semua pengertian
di atas adalah benar.” Lawwamah itu ada dua. Lawwaamah yang tercela dan
lawwaamah yang terpuji. Lawwaamah yang tercela adalah Nafsu yang dungu
dan menganiaya dirinya sendiri. Ia dicela oleh Allah dan para malaikat.
Sedangkan lawwaamah yang terpuji adalah nafsu yang selalu mencela
pemiliknya karena kekurangannya dalam ketaatan kepada Allah, padahal ia
sudah berusaha sekuat tenaganya. Nafsu ini tidak dicela. Bahkan nafsu
ini adalah nafsu yang sangat mulia dan utama, karena ia mencela atas
kekurangtaatan dirinya pada Allah, dan ia siap menerima celaan demi
menggapai ridha Allah. Demikianlah ia terbebas dari celaan Allah.
Berbeda dengan orang yang puas atas amal yang ia kerjakan, dan ia tidak
dicela oleh nafsunya, lalu tidak siap menerima celaan dalam menggapai
ridhaNya. Nafsu semacam inilah yang dicela oleh Allah Ta’ala.
- Nafsu Ammaarah Bis-Su’
Inilah nafsu yang tercela karena selalu
mengajak kepada kejelekan, dan itu memang tabi’atnya. Tidak ada orang
yang selamat dari kejahatannya kecuali orang-orang yang mendapat karunia
dan rahmat dari Allah.Sebagaimana Allah telah mengkisahkan tentang
istri menteri Al-‘Aziz;
{وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ
لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ
رَحِيمٌ } يوسف: 53
dan aku tidak membebaskan diriku
(dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang(Q.S Yusuf: 53).
Juga firman Allah,
{وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا}النور: 21
Sekiranya tidaklah karena kurnia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari
kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya(Q.S An Nur: 21).
Kejahatan itu tersimpan didalam nafsu. Ia
akan mengajak kepada amalan-amalan buruk. Apabila Allah membiarkan
seorang hambanya bersama nafsunya, maka ia akan binasa ditengah-tengah
kejahatan nafsu dan amalan buruknya. Dan apabila Allah memberikan rahmat
serta pertolongan kepadanya niscaya ia akan selamat dari semuanya.
Oleh karena itu marilah kita sama-sama
memohon rahmat serta pertolongan dari Allah supaya kita terlindungi dari
kejahatan nafsu dan amalan buruk yang ditimbulkannya.
Ringkas kata, nafsu itu satu saja. Namun ia bisa menjadi Ammaarah, lawwaamah, ataupun muthma’innah, yang merupakan puncak dari kebaikan. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment