Tuesday, May 24, 2016

Macam-Macam Keadaan Nafsu

.

Macam-Macam Keadaan Nafsu

Pendahuluan
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan nikmat iman dan islam kepada kita, shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang telah mendakwahkan risalah islam sehingga kita mengetahui antara yang haq dan bathil, serta kepada para orang-orang yang selalu istiqamah mengikuti jejak mereka samai hari kiamat.
Materi Ahwalun nafs/macam-macam keadaan nafsu adalah termasuk materi yang sangat penting diantara materi-materi lainnya dari pembahasan tazkiyatun nafs, maka dari itu kami membahas materi ini. Diantara pentingnya mempelajari materi ini adalah mengetahui tentang macam-macam keadaan nafsu adalah untuk mengetahui nafsu baik dari sisi positif ataupun sisi negatifnya. Dan dengan mengetahuinya kita bisa menghindar dari sisi negatif nafsu dan memanfaatkan sisi positifnya. Kemudian setelah mengetahui tentang nafsu ini, maka kita introspeksi diri kita masing-masing sebaik apakah amalan kita? Disamping itu kita juga perlu mengetahui apakah nafsu itu bermacam-macam? Atau hanya ada satu saja?

Pengertian Jiwa/Nafs

Nafsu secara etimologi berarti Gejolak/membongkar.[1] Adapun nafsu secara terminologis nafsu adalah dorongan-dorongan alamiah manusia yang mendorong pemenuhan kebutuhan/kepuasan hidupnya. Al Ghazali mendefinisikan bahwa nafsu adalah , “kelembutan Ilahi”. Dengan demikian nafsu dapat dipahami sebagai keadaan yang sesungguhnya dari wujud atau perkembangan pada suatu tingkatan tertentu dalam pribadi secara keseluruhan.[2]
Mengenai nafsu ini, para penempuh jalan menuju Allah dengan beragam cara dan metode-bersepakat bahwa nafsu adalah faktor yang menghalangi hati untuk sampai kepada Allah. Mereka juga bersepakat, tidak ada seorang pun yang bisa masuk dan sampai kepada Allah kecuali jika sudah membunuh nafsu tersebut, meninggalkan, menyelisihi, memenangi pertarungan atasnya.[3] Mengikuti nafsu dan tidak memiliki kontrol agama membuatnya sulit untuk bisa membawanya bertaqwa kepada Allah terkhusus dalam menjauhi apa yang diharamkan Allah dan rasul-Nya.[4]
Begitulah, manusia itu ada dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan, dikuasai dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar tunduk di bawah perintahnya. Kedua, manusia yang berhasil memenangi pertarungan melawannya. Ia mampu mengekang, menundukkan, sehingga nafsu pun tunduk di bawah perintahnya.
Sebagian orang arif berkata,”akhir dari perjalanan para Thalibin adalah ketika mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapapun yang demikian keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang dikalahkan nafsunya, berarti telah gagal dan hancur. Allah berfirman,
“Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.  Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”(Q.S An Nazi’at : 37-41)
Nafsu itu menyeru kepada sikap durhaka dan mendahulukan kehidupan dunia. Sedangkan Allah memerintahkan hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsu. Jadi, hati manusia itu ada diantara dua penyeru. Kadang kala ia condong kepada yang satu, dan kadang pula condong kepada lainnya. Disinilah cobaan dan ujian.
Dalam Al Quran Allah menyebut nafsu dengan tiga sifat; muthma’innah, lawwaamah dan ammarah bis-su’.
Setelah itu ulama’ berbeda pendapat; apakah nafsu itu satu dan tiga adalah sifatnya? Ataukah setiap manusia itu memiliki tiga nafsu?.Pendapat pertama adalah pendapat fuqaha’ dan para mufassir. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ahli tasawwuf. Tetapi pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara dua pendapat ini. Sebab memang nafsu itu hanya ada satu, jika ditinjau dari sisi dzatnya; dan terbagi menjadi tiga, jika ditinjau dari sisi sifatnya.[5]
  • Nafsu Muthma’innah
Apabila nafsu tenang dan tentram dengan dzikrullah tunduk kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, serta lembu merasa dekat dengan-Nya, maka ia disebut Nafsu Muthma’innah.
kepadanya dikatakan-ketika menemui ajalnya,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”(Q.S Al Fajr : 27-28).
Ibnu Abbas menafsirkan muthma’innah dengan الصادقة ash-shadiqah[6], yang membenarkan kebenaran. Abu bakar jabir Al jazairi menafsirkan Muthma’innah denganصادق وعد الله ووعيده في كتابه وعلى لسان رسوله Kebenaran janji Allah dan Ancaman-Nya baik melalui kitab ataupun melalui utusan-Nya.[7] Qatadah berkata,”yaitu seorang mukmin yang nafsunya tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allah. Tenang di pintu ma’rifah terhadap asma’ dan sifat-Nya dengan berdasarkan kabar dari-Nya(Al Quran) dan dari rasul-Nya(As Sunnah). Tenang atas kabar yang datang tentang pa yang terjadi setelah kematian, alam Barzakh, dan kejadian di hari kiamat, seakan-akan melihat dengan mata kepalanya sendiri(ainul yaqin). Tentram atas taqdir Allah, menerima dan meridhoinya, tidak benci dan berkeluh-kesah, tidak pula terguncang keimanannya, tidak putus asa atas segala sesuatu yang lepas darinya, dan tidak berbangga dengan apa yang dimilikinya. Sebab, semua musibah telah ditaqdirkan oleh-Nya jauh sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum ia diciptakan. Allah berfirman,
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S At Taghabun : 11)
Tidak sedikit dari salaf yang menafsirkannya sebagai: seseorang yang ditimpa musibah, ia mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah, sehingga ia ridha dan pasrah.
Adapun yang dimaksud thuma’ninah adalah ketenangan seseorang dalam melaksanakan perintah dengan ikhlas dan setia. Tidak mendahuluinya dengan satu keinginan ataupun hawa nafsu, juga bukan karena taqlid. ia tidak dihinggapi suatu syubhat yang mengaburkan kabar-Nya, atau syahwat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Bahkan jika suatu ketika syubhat dan syahwat itu datang, ia akan menganggapnya sebagai gangguan-yang baginya lebih baik terjun dari langit ke bumi daripada mengecapnya, walau sesaat. Inilah yang dimaksud Sharihul Iman(iman yang jelas). Nafsu muthma’innah juga terjaga dari kegelisahan untuk bermaksiat dan gejolaknya, ia selalu menuju taubat dan kenikmatan Allah.
Bila diri tenang telah berpindah dari keraguan kepada keyakinan; dari kebodohan kepada ilmu; dari kelalaian kepada dzikir; dari khianat kepada taubat; dari riya’ kepada ikhlas; dari kedustaan kepada kejujuran;dari kelemahan kepada semangat yang membaja; dari sifat ujub kepada ketundukan dan dari kesesatan kepada ketawadlu’an, ketika itulah nafsu telah tentram, muthma’innah. Pondasi dari itu semua adalah yaqdhah(kesadaran). Kesadaranlah yang menyibak kealpaan dan kelalaian diri. Ia pulalah yang menampakkan-baginya- taman surga. Buah dari yaqdhah adalah memanfaatkan seluruh waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan langkah awal perjalanan nafsu muthma’innah menuju Allah dan negeri akhirat.
  • Nafsu lawwaamah
Nafsu lawwaamah adalah nafsu yang selalu berubah keadaan; sering berbalik, berubah warna. Kadang ia ingat, kadang juga alpa. Kadang ia sadar, kadang berpaling. Kadang ia cinta, kadang benci, kadang ia gembira, kadang sedih. Kadang ia ridha, kadang murka. Kadang ia taat, dan kadang ia khianat.
Sebagian orang mendefenisikannya  sebagai nafsu seorang mukmin. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang mukmin itu selalu mencela dirinya. Ia terus berkata, “Apa yang kau inginkan dari semua ini? Mengapa kau lakukan ini ? Sungguh ini lebih baik daripada yang ini! Atau yang semisalnya.”
Ada juga yang mengartikannya lawwaamah dengan celaan pada hari kiamat. Pada hari itu setiap pribadi mencela dirinya sendiri. Jika ia durhaka, atas kedurhakaannya, dan jika seorang yang taat, atau keteledoran dan kekurangannya.
Ibnu Qoyyim  berkata, “semua pengertian di atas adalah benar.” Lawwamah itu ada  dua. Lawwaamah yang tercela dan lawwaamah yang terpuji. Lawwaamah yang tercela adalah Nafsu yang dungu dan menganiaya dirinya sendiri. Ia dicela oleh Allah dan para malaikat. Sedangkan lawwaamah yang terpuji adalah nafsu yang selalu mencela pemiliknya karena kekurangannya dalam ketaatan kepada Allah, padahal ia sudah berusaha sekuat tenaganya. Nafsu ini tidak dicela.  Bahkan nafsu ini adalah nafsu yang sangat mulia dan utama, karena ia mencela atas kekurangtaatan dirinya pada Allah, dan ia siap menerima celaan demi menggapai ridha Allah. Demikianlah ia terbebas dari celaan Allah. Berbeda dengan orang yang puas atas amal yang ia kerjakan, dan ia tidak dicela oleh nafsunya, lalu tidak siap menerima celaan dalam menggapai ridhaNya. Nafsu semacam inilah yang dicela oleh Allah Ta’ala.
  • Nafsu Ammaarah Bis-Su’
Inilah nafsu yang tercela karena selalu mengajak kepada kejelekan, dan itu memang tabi’atnya. Tidak ada orang yang selamat dari kejahatannya kecuali orang-orang yang mendapat karunia dan rahmat dari Allah.Sebagaimana Allah telah mengkisahkan tentang istri menteri Al-‘Aziz;
{وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ } يوسف: 53
dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang(Q.S Yusuf: 53).
 Juga firman Allah,
{وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا}النور: 21
Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya(Q.S An Nur: 21).
Kejahatan itu tersimpan didalam nafsu. Ia akan mengajak kepada amalan-amalan buruk. Apabila Allah membiarkan seorang hambanya bersama nafsunya, maka ia akan binasa ditengah-tengah kejahatan nafsu dan amalan buruknya. Dan apabila Allah memberikan rahmat serta pertolongan kepadanya niscaya ia akan selamat dari semuanya.
Oleh karena itu marilah kita sama-sama memohon rahmat serta pertolongan dari Allah supaya kita terlindungi dari kejahatan nafsu dan amalan buruk yang ditimbulkannya.
Ringkas kata, nafsu itu satu saja. Namun ia bisa menjadi Ammaarah, lawwaamah, ataupun muthma’innah, yang merupakan puncak dari kebaikan. Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment