Rapa'i Cebrek Pusaka Kesenian Aceh
Budaya, Seni Pertunjukan
Salah satu kesenian Aceh yang sering kita dengar adalah rapa’i. Keberagaman seni rapa’i memang tidak ada habisnya di Aceh.
Rapa’i cebrek misalnya, merupakan kesenian pusaka Aceh yang pertama kali populer di wilayah Aceh Barat (Meulaboh).
Konon
rapa’i cebrek yang sudah ada sejak 4 abad yang silam ini memiliki makna
dan sejarah yang begitu besar dalam dunia seni di Aceh.
Pewaris Rapa'i Cebrek
Syech
Usman, demikian ia biasa disapa memulai kisah tentang rapai Cebrek.
Generasi kelima pewaris tunggal Rapai Cebrek yang sudah berusia hampir
empat abad ini memulai mengisahkan itu sambil merapikan bubu di
tangannya. Di desa Palimbungan kec. Kawai XVI kabupaten Aceh Barat,
syech kelahiran 1 Juli 1960 ini menetap dan diamanatkan ayahnya Syech
Basah untuk menjaga Rapai Cebrek dan mewariskan sejarah tarian rapai
duablah (dua belas) yang nyaris punah.
Kisah rapa’i cebrek bermula dari sebatang pohon Cebrek tua tumbang melintang membelah krueng (sungai) Palimbungan. Haji Ben, yang kebetulan melintas di tepi krueng tidak
membiarkan Cebrek itu hanyut. Beliau memotong selanjutnya membentuknya
menjadi kerangka rapai. Kulit rapai diambilnya dari kulit seekor kambing
jantan ‘bule seribe’ (berbulu seribu). Maksudnya kambing yang memiliki
bulu bercorak banyak atau banyak warna.
“Sudah
sejak Haji Ben membuat rapai dari pohon Cebrek dan dipentaskan dalam
setiap tarian rapai duablah, grup tari Haji Ben tidak pernah kalah,
selalu menang, sehingga membuatnya sangat terkenal di Aceh Barat’ kata
Syech Usman. “Sudah sejak itu diyakini Rapai Cebrek memiliki kekuatan
tersendiri” lanjutnya.
Pada
tahun 2008 silan, rapai cebrek ikut serta dalam acara Teater Tari
Kontemporer She Lagee yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
(lihat gambar atas). Seperti pada gambar di atas, rapai cebrek dibungkus
dalam kain putih dijujung oleh seorang anak (Fadli) sebagai simbol
pewarisan dan tanggung jawab generasi penerus untuk menjaga dan merawat
pusaka budaya.
Inilah para pewaris rapa’i cebrek dari keluarga Syech Usman:
- Generasi pertama, Haji Ben (penemu) pada tahun 80-an dari Aceh Utara.
- Generasi kedua, Sulaiman Pase (pewaris) anak sulung dari Haji Ben, sekitar tahun 90-an lahir di Palimbungan.
- Generasi ketiga, Khalifah Ben (pewaris) anak sulung dari Sulaiman Pase, sekitar tahun 70-an yang lahir di Palimbungan.
- Generasi keempat, Syech Basa (pewaris) anak sulung dari Khalifah Ben, sekitar tahun 80-an lahir di Palimbungan.
- Generasi kelima, Syech Usman (pewaris) anak sulung dari Syech Basah yang lahir di Palimbungan.
- Sementara generasi keenam anak dari Syech Usman perempuan semua.
Namun,
ketika rapai Cebrek sampai ke generasi Syech Usman, Syech Usman tidak
pernah menggunakannya lagi untuk ditabuh. “Kecuali kalau ada hajatan di
gampoeng, maka saya akan menggunakannya. Dan itu pun ditabuh secara
perlahan sebanyak tujuh kali di telinga orang yang melaksanakan hajatan
seperti penikahan atau sunatan’.
Tiba-tiba
Syech Usman melepaskan anyaman bubunya. Ia menghela napas panjang.
“Tapi, saya tidak punya anak laki-laki. Tiga anak saya adalah perempuan.
Apakah ini artinya sudah habis masanya?” tanya Syech Usman dengan mata
berkaca. Rapai Duablah sepertinya tidak lagi diminati generasi muda
zaman sekarang. Dua belas syair yang diturunkan oleh Abdul Khadir
Jailani yang menjadi iringan tabuhan rapai duablah sepertinya
perlahan-lahan kehilangan gemanya.
“Banyak
anak-anak muda sekarang yang berlatih rapai, tetapi semangat dan roh
yang ada di dalam rapai belum seluruhnya diserap”, keluh Syech Usman.
Namun
demikian tentang Rapai Cebrek Syech Usman mempunyai keyakinan. “Tapi
saya yakin, tentang rapai Cebrek, walaupun sampai ke tangan anak-anak
saya yang perempuan, saya yakin mereka bisa melanjutkan dan meneruskan
kekuatan Rapai Cebrek ini. Mereka bisa menjaga kedewasaan gampoeng
Palimbungan ini”.
No comments:
Post a Comment