- I. PENDAHULUAN
Dalam upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk berperang dan menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua kali agresi bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948. Akibat serangan itu dalam waktu relatif singkat hampir seluruh wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.
Daerah yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya yang selalu dapat digagalkan. Beberapa kali Belanda melancarkan serangan udara terutama terhadap komando Artileri dilapangan udara Lhok Nga dan beberapa kota lainnya, seperti Ulee Lheue, Sigli, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh dan Tapak Tuan, tetapi dapat di balas rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan menggunakan meriam-meriam anti pesawat terbang.
Pasukan marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.
Oleh karena kuatnya pertahanan pantai yang dilengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan kemerdekaannya dengan selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan menyeret mereka ke kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah terlaksana sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949.
- II. GELORA KEMERDEKAAN DI ACEH
Akan tetapi desa-desus mengenai berita tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh beberapa orang tokoh Aceh. Mereka belum berani mengumumkannya kepada masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentera Jepang..
Setelah diketahui secara resmi tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, atas keberanian para pemuda Aceh terus mengadakan kampaye kepada rakyat untuk menyiarkan berita tersebut. Melalui usaha para pemuda pula yang dengan beraninya mencetak berita-berita itu pada percetakan “Semangat Merdeka” serta kemudian disebarkan kepada masyarakat dengan sangat hati-hati, karena pada masa itu Jepang masih menguasai semua instansi pemerintahan.[2]
Para pemuda melaksanakan pengambilan beberapa instansi pemerintahan Jepang seperti Kantor Percetakan “ Atjeh Shimbun”, Pemancar Radio Jepang “Hodoka” Kantor Berita Jepang “Domei” dan instansi-instansi lainnya; yang diperlukan bagi memperlancar pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Surat kabar “Semangat Merdeka” diterbitkan 14 Oktober 1945 oleh para pemuda untuk menyebarluaskan berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah, di toko-toko, di kantor dan sebagainya.[3]
Pihak Sekutu yang menang perang terhadap Jepang tidak berapa lama kemudian mendarat di Indonesia dengan membonceng tentara Belanda dan NICA (Netherlands Indies Civil Administation) di belakangnya. Sebelum melakukan pendaratan, Jenderal Sir Philip Christison yang memimpin pasukan Sekutu pada tanggal 25 September 1945 menyiarkan dari Singapura melalui radio dan wawancara Pers bahwa tentara Sekutu yang mendarat di Jawa dan Sumatera tidak membawa serdadu-serdadu Belanda dan NICA. Bendera merah putih boleh di kibarkan terus dan organisasi di bawah pimpinan Soekarno tidak dilucuti senjatanya.[4]
Jenderal Sir Philip Christison menegaskan pula, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu melucuti senjata Jepang, mengembalikan orang tawanan dan tahanan Jepang; serta menjaga keamanan. Propaganda yang disiarkan oleh Christison ini berlainan sekali dengan kenyataannya. Setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia.mereka mengadakan tindakan-tindakan seperti merampas toko-toko, kantor-kantor pemerintah. Sekutu memperkuat pula kedudukannya di beberapa kota di Indonesia, serta melakukan kekacauan di kota-kota yang menimbulkan insiden-insiden kecil yang kemudian berubah menjadi pertempuran secara besar-besaran.[5]
Daerah Aceh yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, agak berbeda dari daerah-daerah lainnya dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.. Selama berkecamuknya perang kemerdekaan, Aceh tetap dapat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia secara keseluruhan.[6]
Aceh di juluki sebagai Daerah Modal, bukan saja dari kekuatan-kekuatan rakyat Aceh mempertahankan tanah air, tetapi juga karena di Aceh terdapat alat komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya pers dan radio mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain serta antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat.
Daerah Aceh memang tidak berhasil di kuasai musuh, namun bukan berarti daerah ini tidak pernah di serang oleh tentara Belanda. Mereka sering melakukan serangan baik melalui udara maupun laut seperti didaerah Lhok Nga, Ujong Batee, Ulee Lheue, Lhoksumawe dan beberapa tempat lainya. Namun demikian serangan-serangan Belanda itu selalu dapat dipatahkan oleh angkatan bersenjata daerah Aceh.[7]
Ketidakberhasilan Belanda menguasai Aceh, menyebabkan Aceh menjadi aman dan pemerintah berjalan lancar. Hal ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk memperbaiki dan membangun saluran komunikasi seperti pers dan radio, karena itulah melalui pers dan radio pemerintah Aceh dapat memberi bantuan yang pertama-tama ke daerah-daerah lain yang sedang menghadapi tentara Belanda.[8]
Demi kelancaran perhubungan Aceh dengan daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah daerah Aceh pertama sekali menggunakan media massa Post Telegram Telepon (PTT). Post Telegram Telepon sudah dikenal di Aceh semasa Belanda berkuasa di Aceh. Post Telegram Telepon mempunyai peranan dalam masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, karena melalui media ini dapat menyampaikan suatu berita dan menerima berita secara praktis tanpa ada alat perantara.
Keberadaan telegram tersebut membuat daerah Aceh lebih percaya diri dalam rangka membantu bangsanya yang sedang berjuang mati-matian mmpertahankan kemerdekaan Republikm Indonesia. Kemudian pemrintah daerah Aceh mengirim pasukan bersenjata Aceh untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda yang penting sekali artinya di daerah lainnya.
Pemancar radio Kutaraja pada mulanya sangat sederhana bentuknya dan keadaannya. Namun demikian peranannya dalam mendorong dan membangkitkan semangat juang rakyat melawan pemerintah Belanda sangat penting sekali artinya di masa revolusi tersebut.
Ketika Belanda melancarkan agresi yang pertama ke seluruh pelosok tanah air Indonesia dan pada hari itu juga yaitu tanggal 21 Juli 1947, lapangan terbang Lhok Nga mendapat serangan dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, yang kemudian di ikuti dengan beberapa daerah pantai lainnya. Namun Belanda tetap tidak berhasil menguasai Aceh, sedangkan daerah-daerah diluar Aceh hampir keseluruhan dapat dikuasai mereka. Ketika itu peranan radio Kutaraja semakin bertambah penting kedudukannya sebagai alat komunikasi.[9]
Disamping radio Kutaraja, angkatan perang atau Gajah Devinisi X atas nama pemerintah daerah Aceh; walau dalam keadaan kritis ini berhasil pula mendirikan sebuah pemancar lagi yang kuat jangkauan siarannya, yaitu di kenal dengan nama Radio Rimba Raya. Melalui radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya inilah secara bersama-sama amat berperan dalam rangka mengorbarkan semangat kepada para prajurit di kantong-kantong gerilya yang sedang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Radio Kutaraja yang pada umumya memberi semangat kepada para pejuang yang berada digaris depan, maupun kepada masyarakat untuk memberi sumbangan untuk pembiayaan perang di sekitar daerah Aceh serta daerah-daerah lain sejauh jangkauan siarnya; dapat di terima dalam wilayah Indonesia.[10] .
Dalam suatu revolusi nasional atau dikenal dengan kemerdekaan Indonesia, bahwa faktor ekonomi juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya revolusi yang sedang berlangsung. Peranan pers dan radio dalam perang kemerdekaan dibidang ekonomi adalah menyiarkan tentang kebutuhan para pejuang, agar masyarakat dapat membantunya seperti memberi sumbangan makanan, pikiran dan persediaan perlengkapan lainnya.
Pada bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda beroperasi di Birma.[11]
- III. PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-saudara segenap penduduk Aceh.
Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.[13]
Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh, Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr. Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.[14]
Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh.
Untuk mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.[15]
Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.
Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.[16]
- IV. SUMBANGAN RAKYAT ACEH
Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.
Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis Dakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001). Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.[18]
Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia dan rute luar neger,i yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.[19]
Selain telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.[20]
Peranan Radio Rimba Raya
Salah satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946 daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja. Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun1947 ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya. Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.[21]
Mengenai Radio Republik Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter. Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar negeri. Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.[22]
Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonsia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor John Lie.[23]
Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini di tempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya 10 km dibagian barat kota Takengon.
Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi; karena dikuasai Belanda, maka Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.[24]
Ketika radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan “Bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada.” Dan disini, adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”,kata siaran radio tersebut. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan lagi, sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.
No comments:
Post a Comment