KASUS
Aceh merupakan ironi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Rakyat
Aceh yang melakukan tindakan heroik mempertahankan eksistensi Indonesia
pada saat kritis di awal kemerdekaan, justru kemudian berbalik arah,
melakukan pemberontakan.
Segera terlihat pula, dalam sikap pembelaan maupun
pemberontakan, orang Aceh senantiasa mengekspresikan salah satu wataknya
yang totalitas. Totalitas untuk membela mati-matian Indonesia merdeka
di saat sangat genting. Ketika Belanda ingin menguasai lagi Indonesia
dengan agresi militer pertama dan kedua, Aceh dengan gagah perkasa
membela dan mempertahankannya.
Namun, dengan sikap totalitas yang sama pula, rakyat
Aceh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Gerakan
pemberontakan di Aceh, sekurang-kurangnya sampai sekarang, belum
berhasil dipatahkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Rakyat Aceh memang mempunyai tradisi perlawanan yang
sangat panjang, terutama sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aceh
pernah melakukan perlawanan total dan tanpa ampun terhadap Portugis di
Malaka maupun terhadap Belanda di Tanah Aceh sendiri.
Dengan memperhatikan totalitas watak masyarakat Aceh,
segera terbayang kesulitan yang akan dihadapi dalam mengakhiri konflik
dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Sangat dibutuhkan imajinasi untuk
bisa mempertahankan gairah dan melambungkan harapan untuk perdamaian.
Tanpa visi yang berjangkauan jauh ke depan, proses
perdamaian akan cepat mati langkah dan menemui jalan buntu. Penyelesaian
krisis Aceh sangat mendesak karena taruhannya begitu serius terhadap
masa depan dan eksistensi Indonesia. Penanganan yang tidak serius dan
perilaku menarik ulur waktu merupakan tindakan bermain api yang sangat
berbahaya.
Meskipun jalan yang harus dilalui panjang dan
berlika-liku, prospek perdamaian sangatlah jelas dan terbuka. Tidak
semua masyarakat Aceh mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dunia
internasional pun tidak mendukung GAM karena tidak menginginkan
Indonesia pecah.
Namun, diperlukan keseriusan dan ketulusan
melaksanakan syarat-syarat perdamaian. Termasuk keseriusan mengobati
luka hati masyarakat Aceh. Tidak cukup lagi hanya mengecam karena yang
sangat dibutuhkan justru upaya mengidentifikasi akar persoalan dan
mencabutinya.
Pergeseran peran rakyat Aceh dari posisi mendukung
keras menjadi menentang keras Indonesia merdeka termasuk radikal. Namun,
di tengah harapan perdamaian, tidak perlu didendangkan lagu Kau Yang
Mulai, Kau Yang Akhiri.
Rakyat Aceh telah memulai sesuatu untuk Indonesia
merdeka dengan cara mengesankan. Kontribusi Aceh yang besar terhadap
Indonesia merdeka termasuk fenomenal. Mungkin karena itu gerakan
pemberontakan di Aceh hanya semakin memberi gambaran kontras terhadap
apa yang dilakukannya pada awal kemerdekaan.
Aceh yang begitu setia dan penuh dedikasi terhadap
integritas negara Indonesia, kemudian tergoda memisahkan diri. Semula
berperan sebagai salah satu lokomotif membela Indonesia merdeka,
kemudian mengambil posisi berseberangan. Aceh tidak lagi berada di
depan, tetapi sudah terjengkang jauh ke belakang.
Peran strategis
Tanpa bermaksud membesar-besarkan peran rakyat Aceh,
sejarah memperlihatkan tanggung jawab tinggi rakyat Aceh dalam membela
Indonesia merdeka. Mungkin karena itu ada yang berpendapat, Indonesia
tidak mungkin tanpa Aceh, tetapi Aceh bisa tanpa Indonesia.
Pendapat itu tidak hanya menunjuk peran penting Aceh
dalam mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman penjajah, tetapi
sekaligus menjelaskan eksistensi Indonesia. Aceh merupakan bagian
eksistensial Indonesia merdeka. Persoalan eksistensial ini juga berlaku
bagi wilayah dan suku lain di Indonesia.
Jika Aceh atau wilayah lain melepaskan diri,
eksistensi Indonesia dengan sendirinya terancam pula. Pengertian tentang
Indonesia pun otomatis mengalami perubahan. Apalagi pemisahan sebuah
wilayah dikhawatirkan hanya akan mendorong perpecahan lebih besar,
seperti terlihat dalam Sindrom Uni Soviet.
Sementara itu, pengertian “Aceh bisa tanpa Indonesia”
sama sekali tidak mengacu pada realitas masa depan, tetapi lebih
merefleksikan keperkasaannya di masa lalu, jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia diproklamirkan. Sebelum Indonesia terbentuk, Aceh dan wilayah
Indonesia lainnya sudah ada ribuan tahun.
Sejak abad ke-16, Aceh termasuk salah satu dari lima
kerajaan Islam terbesar di dunia, di samping Kerajaan Ottoman Turki,
Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfan di Timur Tengah (Timteng), dan Kerajaan
Agra di India. Hubungan Aceh dengan mancanegara pun sudah terbentuk.
Aceh sudah berhubungan diplomatik dengan Turki, dan
melakukan kontak dengan negara-negara Arab di Timteng, Persia (Iran),
Gujarat (India), kerajaan di Semenanjung Malaya, kerajaan di Jawa, Cina,
dan Sumatera.
Dalam menyerang Portugis tahun 1575 maupun 1582 di
Malaka, Aceh menjalin kerja sama dengan Turki. Belanda mulai melakukan
kontak dengan Aceh sebagai kerajaan besar tahun 1599. Bahkan, dalam
Traktat London tahun 1824, Belanda mengakui dan menghormati kedaulatan
Kerajaan Aceh.
Namun, Traktat London dilanggar Belanda ketika
menandatangani Traktat Sumatera tahun 1871 dengan Inggris, yang memberi
wewenang kolonial kepada Belanda untuk memperluas kekuasaan ke seluruh
Sumatera. Hubungan memburuk ketika Belanda mulai menduduki wilayah Aceh
di Malaka dan Semenanjung Malaya. Ketegangan memuncak tahun 1873 ketika
Belanda mengumumkan perang.
Tradisi perlawanan Aceh yang dibangun sejak perang
melawan Portugis dan Belanda diperlihatkan pula ketika membela Indonesia
merdeka terhadap ancaman agresi Belanda. Namun, kisah heroik rakyat
Aceh mulai tercemar oleh gerakan pemberontakan terhadap pemerintah
pusat.
Gerakan pemberontakan rakyat Aceh tidak datang
tiba-tiba, tetapi merupakan puncak kekecewaan yang panjang. Setelah
kemerdekaan, Aceh tidak mendapatkan apa yang seharusnya diperolehnya,
tetapi malah dikeruk dan dipermiskin.
Eksplorasi kekayaan alam Aceh seperti hutan dan gas
alam lebih dirasakan sebagai eksploitasi. Rakyat Aceh pun menjadi
terpinggirkan secara ekonomi dan kemudian secara politik. Bahkan, Aceh
akhirnya dipojokkan dan didiskreditkan sebagai komplikasi gerakan
pemberontakan.
Namun, tidak bisa dihapuskan dari ingatan kolektif
bangsa Indonesia tentang peran penting Aceh pada awal kemerdekaan
Indonesia. Dalam buku Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi
Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang
(1998), disebutkan bagaimana Aceh mengambil posisi terdepan dalam
mempertahankan kemerdekaan.
Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama 21
Juli 1947 dan agresi kedua 19 Desember 1948, Aceh merupakan satu-satunya
daerah di Indonesia yang tidak diduduki Belanda. Rupanya Belanda masih
mengalami trauma atas perang panjang dengan Aceh tahun 1873-1914, yang
berakhir tanpa diketahui menang dan kalah.
Dalam menangkis siaran Radio Batavia dan Radio
Hilversum (Belanda) bahwa Indonesia sudah mati karena Ibu Kota
Yogyakarta sudah diduduki dan Soekarno-Hatta ditangkap, Aceh membangun
pemancar radio Rimba Raya dan sering disebut pula Radio Indonesia
Kutaradja dan Suara Indonesia Merdeka.
Perangkat radio diperoleh melalui operasi
penyelundupan malam hari yang lihai antara Aceh-Penang-Singapura.
Jangkauan siaran Radio Rimba Raya tidak hanya seluruh Tanah Air, tetapi
juga bisa ditangkap jelas di Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Bahkan
kemudian dipantau di Manila dan New Delhi. Kevakuman siaran Radio
Republik Indonesia (RRI) benar-benar diisi oleh Radio Rimba Raya.
Radio itu juga berfungsi untuk menyiarkan pesan dan
berita Markas Besar Angkatan Republik Indonesia yang berpindah-pindah di
Pulau Jawa dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera
Tengah.
Kehadiran Radio Rimba Raya di Aceh, ditambah Radio
Siaran Republik di hutan-hutan Surakarta dan Siaran Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat, sangat bermanfaat bagi
perang saraf melawan propaganda Belanda.
Daerah modal
Bukan hanya mendirikan pemancar radio, rakyat Aceh
juga menyiapkan Kutaradja (kini Banda Aceh) untuk sewaktu-waktu dapat
dijadikan sebagai “ibu kota darurat” Republik Indonesia.
Langkah persiapan Kutaradja sebagai ibu kota darurat
diambil untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang dibuka 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Jika KMB
gagal, akan dibentuk “kabinet perang” di Kutaradja untuk melawan
Belanda.
Presiden Bung Karno menginstruksikan sejumlah
pimpinan dan kesatuan ABRI untuk meninggalkan Yogyakarta menuju
Kutaradja. Kota Yogyakarta memang sudah tidak aman lagi sehingga
Kutaradja dijadikan tempat persiapan perang rakyat semesta melawan
agresi Belanda.
Tidaklah berlebihan ketika Aceh dijuluki Presiden
Soekarno sebagai “daerah modal” karena sumbangan moril dan material yang
begitu hebat untuk mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman
pendudukan kembali Belanda.
Dalam kunjungan ke Aceh tanggal 16 Juni 1948,
Soekarno mengajak rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang
sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Di luar dugaan, rakyat Aceh
spontan mengumpulkan uang dan tidak kurang 20 kg emas murni, yang cukup
membeli dua pesawat jenis Dakota. Bahkan, uang masih tersisa untuk
membiayai operasional para duta dan perwakilan Indonesia di luar negeri,
seperti Singapura, Penang, New Delhi, Manila, dan PBB.
Soekarno memberi nama pesawat Dakota pertama dengan
“Seulawah” RI-001. Pesawat perintis yang mulai beroperasi Oktober 1948
merupakan kekuatan pertama Angkatan Udara RI dalam menerobos blokade
udara Belanda. Pesawat itu menjadi jembatan udara antara pemerintah
pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah Darurat di Sumatera Tengah dan
Kutaradja (Aceh). Pesawat kedua sumbangan rakyat Aceh bernama “Dakota”
RI-002.
Sebelum dua pesawat Dakota diserahkan, rakyat Aceh
sebenarnya sudah menyerahkan pesawat terbang jenis AVRO ANSON dengan
nomor registrasi RI-003. Pesawat ini dibeli di Thailand tahun 1947
dengan pembayaran dalam bentuk emas murni, dan diterbangkan oleh Komodor
Muda A Halim Perdanakusumah dan Opsir Udara I Iswahyudi, yang sewaktu
pulang ke Indonesia jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia.
Atas pertimbangan jasa rakyat Aceh yang begitu hebat,
Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Aceh tanggal 26 Mei 1959.
Namun, setelah itu Aceh yang sudah berperan seolah dilupakan. Proses
pembangunan Aceh, seperti di wilayah lainnya, kurang diperhatikan.
Selama era Orde Baru, Aceh tidak pernah mendapatkan
apa yang harus diperolehnya. Sebaliknya Aceh dieksplorasi, yang terasa
sebagai proses pemiskinan. Tidak mengherankan, Aceh sangat terpukul,
merasa diabaikan.
No comments:
Post a Comment