Tuesday, May 17, 2016

Indonesia Tak Bisa Tanpa Aceh

KASUS Aceh merupakan ironi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Rakyat Aceh yang melakukan tindakan heroik mempertahankan eksistensi Indonesia pada saat kritis di awal kemerdekaan, justru kemudian berbalik arah, melakukan pemberontakan.
Segera terlihat pula, dalam sikap pembelaan maupun pemberontakan, orang Aceh senantiasa mengekspresikan salah satu wataknya yang totalitas. Totalitas untuk membela mati-matian Indonesia merdeka di saat sangat genting. Ketika Belanda ingin menguasai lagi Indonesia dengan agresi militer pertama dan kedua, Aceh dengan gagah perkasa membela dan mempertahankannya.

Namun, dengan sikap totalitas yang sama pula, rakyat Aceh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Gerakan pemberontakan di Aceh, sekurang-kurangnya sampai sekarang, belum berhasil dipatahkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Rakyat Aceh memang mempunyai tradisi perlawanan yang sangat panjang, terutama sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aceh pernah melakukan perlawanan total dan tanpa ampun terhadap Portugis di Malaka maupun terhadap Belanda di Tanah Aceh sendiri.
Dengan memperhatikan totalitas watak masyarakat Aceh, segera terbayang kesulitan yang akan dihadapi dalam mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Sangat dibutuhkan imajinasi untuk bisa mempertahankan gairah dan melambungkan harapan untuk perdamaian.
Tanpa visi yang berjangkauan jauh ke depan, proses perdamaian akan cepat mati langkah dan menemui jalan buntu. Penyelesaian krisis Aceh sangat mendesak karena taruhannya begitu serius terhadap masa depan dan eksistensi Indonesia. Penanganan yang tidak serius dan perilaku menarik ulur waktu merupakan tindakan bermain api yang sangat berbahaya.
Meskipun jalan yang harus dilalui panjang dan berlika-liku, prospek perdamaian sangatlah jelas dan terbuka. Tidak semua masyarakat Aceh mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dunia internasional pun tidak mendukung GAM karena tidak menginginkan Indonesia pecah.
Namun, diperlukan keseriusan dan ketulusan melaksanakan syarat-syarat perdamaian. Termasuk keseriusan mengobati luka hati masyarakat Aceh. Tidak cukup lagi hanya mengecam karena yang sangat dibutuhkan justru upaya mengidentifikasi akar persoalan dan mencabutinya.
Pergeseran peran rakyat Aceh dari posisi mendukung keras menjadi menentang keras Indonesia merdeka termasuk radikal. Namun, di tengah harapan perdamaian, tidak perlu didendangkan lagu Kau Yang Mulai, Kau Yang Akhiri.
Rakyat Aceh telah memulai sesuatu untuk Indonesia merdeka dengan cara mengesankan. Kontribusi Aceh yang besar terhadap Indonesia merdeka termasuk fenomenal. Mungkin karena itu gerakan pemberontakan di Aceh hanya semakin memberi gambaran kontras terhadap apa yang dilakukannya pada awal kemerdekaan.
Aceh yang begitu setia dan penuh dedikasi terhadap integritas negara Indonesia, kemudian tergoda memisahkan diri. Semula berperan sebagai salah satu lokomotif membela Indonesia merdeka, kemudian mengambil posisi berseberangan. Aceh tidak lagi berada di depan, tetapi sudah terjengkang jauh ke belakang.
Peran strategis
Tanpa bermaksud membesar-besarkan peran rakyat Aceh, sejarah memperlihatkan tanggung jawab tinggi rakyat Aceh dalam membela Indonesia merdeka. Mungkin karena itu ada yang berpendapat, Indonesia tidak mungkin tanpa Aceh, tetapi Aceh bisa tanpa Indonesia.
Pendapat itu tidak hanya menunjuk peran penting Aceh dalam mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman penjajah, tetapi sekaligus menjelaskan eksistensi Indonesia. Aceh merupakan bagian eksistensial Indonesia merdeka. Persoalan eksistensial ini juga berlaku bagi wilayah dan suku lain di Indonesia.
Jika Aceh atau wilayah lain melepaskan diri, eksistensi Indonesia dengan sendirinya terancam pula. Pengertian tentang Indonesia pun otomatis mengalami perubahan. Apalagi pemisahan sebuah wilayah dikhawatirkan hanya akan mendorong perpecahan lebih besar, seperti terlihat dalam Sindrom Uni Soviet.
Sementara itu, pengertian “Aceh bisa tanpa Indonesia” sama sekali tidak mengacu pada realitas masa depan, tetapi lebih merefleksikan keperkasaannya di masa lalu, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Sebelum Indonesia terbentuk, Aceh dan wilayah Indonesia lainnya sudah ada ribuan tahun.
Sejak abad ke-16, Aceh termasuk salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, di samping Kerajaan Ottoman Turki, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfan di Timur Tengah (Timteng), dan Kerajaan Agra di India. Hubungan Aceh dengan mancanegara pun sudah terbentuk.
Aceh sudah berhubungan diplomatik dengan Turki, dan melakukan kontak dengan negara-negara Arab di Timteng, Persia (Iran), Gujarat (India), kerajaan di Semenanjung Malaya, kerajaan di Jawa, Cina, dan Sumatera.
Dalam menyerang Portugis tahun 1575 maupun 1582 di Malaka, Aceh menjalin kerja sama dengan Turki. Belanda mulai melakukan kontak dengan Aceh sebagai kerajaan besar tahun 1599. Bahkan, dalam Traktat London tahun 1824, Belanda mengakui dan menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.
Namun, Traktat London dilanggar Belanda ketika menandatangani Traktat Sumatera tahun 1871 dengan Inggris, yang memberi wewenang kolonial kepada Belanda untuk memperluas kekuasaan ke seluruh Sumatera. Hubungan memburuk ketika Belanda mulai menduduki wilayah Aceh di Malaka dan Semenanjung Malaya. Ketegangan memuncak tahun 1873 ketika Belanda mengumumkan perang.
Tradisi perlawanan Aceh yang dibangun sejak perang melawan Portugis dan Belanda diperlihatkan pula ketika membela Indonesia merdeka terhadap ancaman agresi Belanda. Namun, kisah heroik rakyat Aceh mulai tercemar oleh gerakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat.
Gerakan pemberontakan rakyat Aceh tidak datang tiba-tiba, tetapi merupakan puncak kekecewaan yang panjang. Setelah kemerdekaan, Aceh tidak mendapatkan apa yang seharusnya diperolehnya, tetapi malah dikeruk dan dipermiskin.
Eksplorasi kekayaan alam Aceh seperti hutan dan gas alam lebih dirasakan sebagai eksploitasi. Rakyat Aceh pun menjadi terpinggirkan secara ekonomi dan kemudian secara politik. Bahkan, Aceh akhirnya dipojokkan dan didiskreditkan sebagai komplikasi gerakan pemberontakan.
Namun, tidak bisa dihapuskan dari ingatan kolektif bangsa Indonesia tentang peran penting Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia. Dalam buku Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang (1998), disebutkan bagaimana Aceh mengambil posisi terdepan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Ketika Belanda melakukan agresi militer pertama 21 Juli 1947 dan agresi kedua 19 Desember 1948, Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak diduduki Belanda. Rupanya Belanda masih mengalami trauma atas perang panjang dengan Aceh tahun 1873-1914, yang berakhir tanpa diketahui menang dan kalah.
Dalam menangkis siaran Radio Batavia dan Radio Hilversum (Belanda) bahwa Indonesia sudah mati karena Ibu Kota Yogyakarta sudah diduduki dan Soekarno-Hatta ditangkap, Aceh membangun pemancar radio Rimba Raya dan sering disebut pula Radio Indonesia Kutaradja dan Suara Indonesia Merdeka.
Perangkat radio diperoleh melalui operasi penyelundupan malam hari yang lihai antara Aceh-Penang-Singapura. Jangkauan siaran Radio Rimba Raya tidak hanya seluruh Tanah Air, tetapi juga bisa ditangkap jelas di Penang, Kuala Lumpur, dan Singapura. Bahkan kemudian dipantau di Manila dan New Delhi. Kevakuman siaran Radio Republik Indonesia (RRI) benar-benar diisi oleh Radio Rimba Raya.
Radio itu juga berfungsi untuk menyiarkan pesan dan berita Markas Besar Angkatan Republik Indonesia yang berpindah-pindah di Pulau Jawa dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Tengah.
Kehadiran Radio Rimba Raya di Aceh, ditambah Radio Siaran Republik di hutan-hutan Surakarta dan Siaran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat, sangat bermanfaat bagi perang saraf melawan propaganda Belanda.
Daerah modal
Bukan hanya mendirikan pemancar radio, rakyat Aceh juga menyiapkan Kutaradja (kini Banda Aceh) untuk sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai “ibu kota darurat” Republik Indonesia.
Langkah persiapan Kutaradja sebagai ibu kota darurat diambil untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dibuka 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Jika KMB gagal, akan dibentuk “kabinet perang” di Kutaradja untuk melawan Belanda.
Presiden Bung Karno menginstruksikan sejumlah pimpinan dan kesatuan ABRI untuk meninggalkan Yogyakarta menuju Kutaradja. Kota Yogyakarta memang sudah tidak aman lagi sehingga Kutaradja dijadikan tempat persiapan perang rakyat semesta melawan agresi Belanda.
Tidaklah berlebihan ketika Aceh dijuluki Presiden Soekarno sebagai “daerah modal” karena sumbangan moril dan material yang begitu hebat untuk mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman pendudukan kembali Belanda.
Dalam kunjungan ke Aceh tanggal 16 Juni 1948, Soekarno mengajak rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Di luar dugaan, rakyat Aceh spontan mengumpulkan uang dan tidak kurang 20 kg emas murni, yang cukup membeli dua pesawat jenis Dakota. Bahkan, uang masih tersisa untuk membiayai operasional para duta dan perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti Singapura, Penang, New Delhi, Manila, dan PBB.
Soekarno memberi nama pesawat Dakota pertama dengan “Seulawah” RI-001. Pesawat perintis yang mulai beroperasi Oktober 1948 merupakan kekuatan pertama Angkatan Udara RI dalam menerobos blokade udara Belanda. Pesawat itu menjadi jembatan udara antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah Darurat di Sumatera Tengah dan Kutaradja (Aceh). Pesawat kedua sumbangan rakyat Aceh bernama “Dakota” RI-002.
Sebelum dua pesawat Dakota diserahkan, rakyat Aceh sebenarnya sudah menyerahkan pesawat terbang jenis AVRO ANSON dengan nomor registrasi RI-003. Pesawat ini dibeli di Thailand tahun 1947 dengan pembayaran dalam bentuk emas murni, dan diterbangkan oleh Komodor Muda A Halim Perdanakusumah dan Opsir Udara I Iswahyudi, yang sewaktu pulang ke Indonesia jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia.
Atas pertimbangan jasa rakyat Aceh yang begitu hebat, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Aceh tanggal 26 Mei 1959. Namun, setelah itu Aceh yang sudah berperan seolah dilupakan. Proses pembangunan Aceh, seperti di wilayah lainnya, kurang diperhatikan.
Selama era Orde Baru, Aceh tidak pernah mendapatkan apa yang harus diperolehnya. Sebaliknya Aceh dieksplorasi, yang terasa sebagai proses pemiskinan. Tidak mengherankan, Aceh sangat terpukul, merasa diabaikan.

No comments:

Post a Comment