Tuesday, May 17, 2016

Pemberontakan di Aceh

Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005. Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya pemberontakan. Amnesty International merilis laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi jika masalah ini tidak diselesaikan.[4]

Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktikkan. Hal ini berbeda dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar wilayah Indonesia lain. Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-kebijakan sekuler dalam administrasi Orde Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde Baru pusat yang mempromosikan satu 'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti masalah yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.

Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa.[5] Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.[5]
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh.[6] Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini:[7]
Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam.[5] Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh.[8] Orang yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.[8] Beberapa orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.[9] Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin muda GAM yang berpendidikan.[9]
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi.[10] Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi.[11]

Tahap kedua

Teungku Muhammad Daud Beureueh
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme".[12] Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan.[12] Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda.[13] Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800.[12] Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).[14]
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya.[15] Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.[10] Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.[16] Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang).[17]

Tahap ketiga

Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh.[18] Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.[19]
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.[20]
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi.[21] Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.[22] Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi."[23] Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.[24]
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch,[25] militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.

Kesepakatan damai dan pilkada pertama

Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.[26] Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional.[27]
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.[28] Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.[29] Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai [30] ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.[31]
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.

Kemungkinan penyebab konflik

 

Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.[32]
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:
1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.[33]
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan pan-Indonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme.[34]
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat.[35] Tim Kell juga menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.[36]




No comments:

Post a Comment