5 Penyebab dikatakan “Aceh Pungo”
'' Aceh Pungo'' Hahahahaha :)
Budayanya; segala siklus hidup, dari kelahiran hingga kematian,
identik dengan seremonial. Kenduri sepanjang tahun. Banyak sekali hal
yang fenomenal. Terlepas dari itu semua, salah satu jargon yang tak
asing kita dengar, bisa dikatakan konotasinya positif meskipun
denotasinya negatif. Itu ialah gelar Aceh Pungo (Gekke Atjehsche: Belanda). Hingga kini, jargon itu tidak pernah lekang dari bangsa Aceh.
Saya
mencoba menelaah, sepertinya, ada 5 hal yang menyebabkan Aceh hingga
saat ini dikenal seperti itu, setidaknya ini hanyalah gambaran singkat,
dari sudut pandang saya. Bisa jadi setiap orang berpikir berbeda.
- Gila dalam Perang
Bukan
dalam artian warga Aceh suka onar. Tidak begitu. Justru sebaliknya.
Bangsa Aceh cinta damai. Semula, julukan ini merunjuk pada serangkaian
aksi nekat dan frontal pejuang Aceh terhadap Belanda. Tercatat 120 kasus
serangan terjadi dalam kurun waktu antara 1910 hingga 1937, dan menjadi
catatan penting dalam sejarah perang Aceh melawan Belanda. Serangan
secara personal maupun kelompok. Bangsa Aceh tidak takut mati. Karena
perang adalah perjuangan meraih surga. Hidup mulia dengan merdeka atau
mati syahid.
- Gila Harta
Saya tidak bisa memastikan, semua orang sepakat dengan hal ini atau
tidak. Tuduhan gila harta dikaitkan dengan tingginya mahar gadis Aceh.
Nyaris menduduki posisi kedua setelah gadis Bugis. Di Aceh, mahar
diberikan tidak dalam bentuk uang, melainkan emas. Dikenal dengan satuan
Mayam. Satu Mayam seberat 3,33 gram, pada umumnya, nilai yang paling
standar berkisar 10-15 Mayam, ditambah lagi seserahan saat hantaran.
Bahkan, sebagian wilayah juga mengenakan adat “uang hangus”. Yaitu,
biaya perhelatan pesta yang harus ditanggung pihak besan; mempelai
laki-laki. Ini menunjukkan betapa bangsa aceh memuliakan kedudukan
perempuan.
Emas
- Gila Gengsi
Orang Aceh, pada umumnya, sangat memilah dan memilih pekerjaan. Meski
ini bukan keadaan mutlak, namun jumlah yang dominan cukup menjadi
landasan atas konklusi ini. Banyak kita lihat sarjana yang menjadi
pengangguran, tidak mau kerja serabutan sebab ia seorang lulusan
perguruan tinggi. Padahal lahan pertanian yang tidak terkelola selama
ini cukup luas di Aceh. Tolak ukur sukses dalam pendidikan adalah saat
seseorang menjadi karyawan sebuah instansi, pegawai negeri. Setidaknya
pekerjaan yang berkelas. Padahal di Jepang, bahkan para sarjana inilah
yang terjun langsung ke lapangan. Saya rasa ini tabi’at yang tidak baik.
- Gila Sanjungan
Bangsa Aceh pantang dilecehkan. Sebagai bangsa yang dikenal mewarisi
kerajaan nan megah, mewarisi alam yang strategis, nilai sejarah yang
memukau, membuat Aceh merasa tak pantas di intimidasi dan dijajah oleh
siapa pun. Mengingat kondisi beberapa tahun silam, tentang konflik Aceh.
Ini bermula sebab bangsa Aceh merasa mereka dizalimi oleh ibukota
negara, sebab banyak sumber daya alam yang dikerup sedangkan fasilitas
pembangunan di Aceh diabaikan begitu saja. Aceh merasa sudah banyak
membantu, sementara balasannya hanya berupa pengkhianatan. Ibarat kata,
susu dibalas dengan tuba. Syukurlah, akhirnya berujung damai dengan
persetujuan UU Pemerintahan Aceh, dan Qanun Syari’at islam, sebagai
bentuk keistimewaan yang diberikan terhadap Aceh dibandingkan profinsi
lainnya.
- Gila bila telah cinta.
Di Aceh, kecintaan terhadap agama sangat kental. Ulama sangat
dihormati. Perkataan ulama bak mantra mujarab untuk meredam perselisihan
dan sengketa. Orang-orang yang mengkaji islam selalu memiliki nilai
lebih pada pandangan masyarakat. Kemudian, cinta bangsa, ini sangat
terlihat jelas ketika mereka sedang berada di luar Aceh. Siapa pun yang
terindentifikasi berasal dari Aceh, itu akan dianggap saudara. Demikian
pula dengan bahasa. Sesorang warga asing yang datang, kemudian mampu
berbahsa Aceh, meski hanya beberapa kata saja. Itu kesannya seperti
langung dianggap selayak keluarga. Orang Aceh rela melakukan apa saja
apabila telah cinta. Selayak yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda.
Membangun miniatur gunung di tengah kota sebagai tempat untuk bermain.
Hingga sekarang bukti cintanya abadi; di Taman Gunongan.
Gunongan,
No comments:
Post a Comment