“ACEH
MODAL BANGSA “, begitu kata Bung Karno dalam wejangannya pada rapat samudera di
Blang Padang dan Lapangan kota Asan Sigli tanggal 16 Juni 1948 dan di Bireuen ”kota
Perjuangan”tanggal 17 juni 1948. Modal untuk meneruskan perjuangan dan
cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan
pancasila dan UUD 1945.
Setelah
Bung Karno “menitipkan” Republik Indonesia kepada Gubernur Militer Aceh, Langkat
dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Mohd. Daud Bereueh, maka dikalangan
pimpinan militer di daerah ini masa itu, segera menjabarkan instruksi Panglima
Besar Jenderal sudirman. Instruksi berisi keputusan untuk melancarkan perang
gerilya jangka panjang atau dengan istilah militer yang baku dikenal dengan
sebutan “Perlawanan Rakyat Semesta” berdasarkan “Doktrin Perang Wilayah”. Benar saja, ketika Belanda melancarkan agresi militer
kedua tanggal 19 Desember 1948, menyerbu dan menduduki ibukota Yogyakarta serta
menangkap Seokarno-Hatta, maka Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit sekalipun
menyatakan sikapnya untuk memimpin perang gerilya bersama rakyat Indonesia. seiring
dengan itu, para kepala Staf Angkatan hijrah ke Aceh untuk mengarahkan
mobilisasi mesin perang gerilya yang telah dipersiapkan sebelumnya sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan untuk melaksanakan perlawanan rakyat semesta
berdasarkan Doktrin perang wilayah.
Dr. Van
Mook membuat perhitungan yang ambisius sekitar seminggu atau sepuluh hari
setelah agresi militer kedua, RI bisa ditumpas setidaknya dibuat tidak
berkutik. Sehingga dalam perundingan yang telah diprogramkannya tanggal 1
Januari 1949, RI dapat didikte dalam pembentukan Uni Indonesia-Belanda yang
dikepalai dengan anggota Indonesia dan BFO (Negara-negara federal yang dibentuk
Belanda di wilayah RI). Ternyata lamunan Dr. Van Mook sirna dan lenyap
bersamaan dengan kegagalan yang menimpa dan dibebastugaskan oleh pemerintah
Belanda Den Haag.
Ketika
situasi sedang kacau dan krisis inilah Aceh tampil berperan dan mengambil alih
pimpinan untuk menggoyah satu persatu negera federal yang dibentuk Belanda. Perlawanan
ini dilakukan secara terpadu dari luar dan dalam bersama-sama dengan kaum
republik yang ada di daerah penduduk itu sendiri. Dengan semangat 45 Rakyat Aceh melakukan perlawanan
untuk mengusir dan membebaskan tanah air dari penjajahan Belanda. Bung karno
menantang Rakyat Aceh menyediakan sebuah pesawat terbang untuk menerobos
blokade udara Belanda yang menghimpit dan mencekik leher Republik Indonesia
pada saat itu dan bahaya yang sangat besar mengancam rakyat sehingga perlu
segera ditanggulangi. Terobosan ini dinilai oleh Bung Karno sebagai
satu-satunya cara yang paling efektif dan mendesak.
Ternyata
respons Rakyat Aceh atas tantangan Bung Karno ini cukup meyakinkan dan
mengharukannya. Pada saat itu pula Bung Karno merasa perlu adanya sebuah
Pesawat kenegaraan untuk melancarkan proses pemerintahan dan hubungan dengan
luar negeri. Oleh karena itu rakyat Aceh dalam situasi sulit dan pancaroba pada
saat itu mampu menyerahkan uang dan harta bendanya untuk membeli dua buah
pesawat terbang yang kemudian diberi nama oleh Bung Karno sendiri dengan
“Seulawah RI-001” dan “Seulawah RI-002”. Kedua pesawat ini kemudian dioperasikan
di luar negeri, yang satu mondar-mandir dengan tujuan Indonesia- luar
negeri dan yang satunya lagi dikaryakan di Birma (Myanmar_sekarang).
Tidak
dapat disangsikan betapa besar andil dan peran aktif Aceh terhadap kemerdekaan
Indonesia.Ulamanya dengan penuh kharismatik menyerukan agar rakyat bersama-sama
bahu-membahu menghadang Belanda yang hendak menjajah kembali.Aceh berhasil
memukul mundur Belanda dengan semangat yang menggebu dan membuat Negara kincir
angin itu terheran akan tingkah polah orang Aceh yang begitu berani berperang
hanya menggunakan bambu yang diselipkan di baju mereka.Aceh gila(Aceh pungo) begitu kata Belanda.
Keberhasilan
rakyat Aceh dalam menghadapi musuh-musuh bukan terletak pada kelengkapan
persenjataan dan bukan pula karena kecintaanya pada kehidupan duniawi tetapi
ada satu rahasia yang mampu memberikan kekuatan kepada rakyat Aceh yaitu Islam.
Islam bagi rakyat Aceh adalah sebuah keyakinan yang mengkristal dan mendarah
daging dalam tubuh mereka. Rakyat Aceh sangat paham bahwa tiada hal yang patut
dibanggakan di dunia ini selain menjadi muslim yang taat. Islam adalah harga
diri yang tidak dapat di tukar dengan apa pun selama hayat masih dikandung
badan.maka tidak heran banyak ulama yang lahir di Seuramoe Mekah (Serambi Mekah) ini menantang habis-habisan budaya
dan adat-istiadat dari luar yang bertentangan dengan ajaran islam.
Aceh merupakan
negeri Islam terbesar di dunia,dimana kerajaan
Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan pernah mengirimkan satu armada kecil
yang terdiri dari tiga kapal menuju Istanbul,mereka tiba disana(istanbul)
setelah berlayar selama dua setengah tahun Adat-istiadat dan budayanya
tidak terlepas dari syariat islam. Aceh juga negeri islam terkuat di nusantara
dan merupakan pusat penyebaran agama Islam keseluruh nusantara, sebab itu, Aceh
dijuluki sebagai Aceh serambi mekah.
Bung
Karno pernah berjanji akan mendukung penerapan syariat Islam diseluruh wilayah
Aceh.Namun tidak lama kemudian di khianatinya sendiri.Seukarno mengucapkan
janji tersebut pada tahun 1948,setahun kemudian Aceh dijadikan satu provinsi
dari Republik Indonesia,belum kering bibir Seukarno mengucap janji
tersebut,pada tahun 1951 Provinsi Aceh dibubarkan dan disatukan dengan Sumatra
Utara.jelas,ini menambah sakit hati rakyat Aceh.Pengkhianatan Soekarno terhadap
Aceh merupakan awal dari rentetan pengkhianatan yang dilakukan Negara terhadap
Aceh dan rakyatnya. Kenyataan ini dianggap rakyat Aceh sebagai kesalahan yang
fatal dan tidak bisa dimaafkan.
Aceh
porak-poranda setelah berperang cukup lama dengan Belanda yang kemudian
dilanjutkan dengan Jepang,lalu mengurus dan menghibahkan seluruh kekayaan demi
mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih.pemerintah pusat
bukannya membangun dan menata kembali malah oleh pemerintah mengirimkan beribu-ribu
tentara untuk membunuh dan melenyapkan Aceh.
Rezim
Orde baru Seuharto,Abdurrahman Wahid,Megawati,semuanya melakukan hal yang sama
terhadap Aceh.Setelah tragedy tsunami menghempas Aceh pada tanggal 24 Desember
2004,barulah pemerintah pusat bersungguh-sungguh untuk menghentikan konflik
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).pasca MoU Helsinki telah dijalankan selama
bertahun-tahun,namun sampai detik ini rakyat Aceh masih juga terabaikan dan belum
terjamin keamanan dan kekacauan yang terjadi di Aceh.
Seiring
dengan terjadinya berbagai momentum besar dalam konstelasi politik di Aceh
dalam bentuk tantangan yang diantaranya berasal dari dalam daerah dan sebagian
berasal dari luar daerah,kita dapat menemukan bukti bahwa hal-hal yang
melahirkan tantangan politik di dalam daerah menjadi pemicu utama bagi
munculnya tantangan dari luar daerah ke dalam daerah Aceh.Masalah dan tantangan sosial politik
yang secara langsung menjadi ancaman bagi sendi-sendi dan dasar revolusi Islam
di Aceh.
Pengkhianat demi
pengkhianat terus saja terjadi di Aceh,masyarakat sudah tidak percaya lagi akan
partai-partai politik yang pada awalnya semuanya manis namun setelah menjadi
pemimpin,mereka sudah melupakan rakyat,yang seharusnya diutamakan untuk Rangkaian masalah dan tantangan yang muncul
ini biasanya berputar pada sekitar isu globalisasi yang muncul sebagai beban
berat bagi prinsip-prinsip dan sendi-sendi keislaman.seperti misalnya,masalah
jilbab bagi perempuan yang menjadi masalah dan tantangan yang dihadapi
masyarakat,apalagi dengan masuknya ide pemikiran bebas dari luar,ditambah lagi
dengan kebijakan pemerintah
belum mampu menjadikan pemerintahan ini sebagai pemerintahan religious dan demokrasi
untuk melayani rakyat.
Badai dari luar
datang bersamaan dengan pilkada yang akan di gelar serentak di Aceh. Banyaknya
provokator yang menjelma menjadi serigala-serigala yang mengancam di setiap
tempat. Pimpinan serigala merupakan bos para provokator yang senantiasa
menunggu kesempatan untuk dapat menerkam pimpinan-pimpinan yang lain demi nafsu
mendapatkan tampuk kekuasaan. Setelah tampuk kekuasaan sudah dalam genggaman,
para serigala ini menari-nari di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tarian
“Hukum Nasional”.
Ketika
menyaksikan kejadian-kejadian yang sering terjadi bahkan setiap hari, lama
kelamaan Aceh tenggelam dengan sendirinya, dalam mencapai visi dan misi roda pemerintahan
dijalankan semakin jauh dengan nilai-nilai agama dan apa yang telah
diperjuangkan oleh pahlawan terdahulu seakan menjadi sia-sia.
Di
zaman seperti sekarang ini, kapak haruslah selalu siap. Namun, kapak tidak berguna
jika tidak ada tangan yang menggerakkan. Tak ada jihad untuk membela kebenaran
dan mempertahankan hak tanpa adanya pasukan. Oleh karena itu kita harus bersatu
dan berpangku tangan demi mencegah tindakan yang dapat merusak perdamaian di
Aceh yang dapat merugikan rakyat serta mengutuk segala aksi kekerasan yang
dilakukan oleh provokator yang sedang terjadi baru-baru ini.
Kita
semua tau dan sangat menyadarinya, atas nama liberalisme dan keterbukaan,ada
beberapa orang yang secara sporadic berusaha “mengubah warna susu menjadi hitam
“ dengan mencampuradukkan konsep-konsep, corak dan krisis politik, agama dan
budaya, dengan demikian kita harus selalu waspada terhadap skenerio yang dibuat
oleh orang-orang yang berkepentingan untuk menghancurkan daerah modal ini dengan
cara dilemahkannya akhlak dan iman. Seperti pendangkalan akidah yang banyak
terjadi sekarang ini juga disebabkan oleh iman yang tidak kuat dan kemiskinan
yang mendera rakyat kita
Maka
giliran berikutnya adalah generasi kita putra-putri aceh sebagai penerus untuk
membela dan mengisi wadah aceh dalam hidup ini, ada ungkapan indah dari seorang
sosialis yaitu ”kita harus mencari bara api dari sejarah masa lalu dan jangan
pernah puas dengan abu masa lalu”. Sejarah Aceh dahulu adalah sejarah perlawanan
yang penuh keberhasilan maka dengan itu kita tanamkan dalam diri kita “barang
siapa yang tak pernah menciptakan keberhasilan, maka ia tak berhak bicara”.
No comments:
Post a Comment