I. Latar Belakang Perilaku Seks Bebas
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang
kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas
mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang
membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini
bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan
bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan
hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,
berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi
cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani
dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang
ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa
mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks
sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas
kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai
dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang
seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap
belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup
pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka
sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang
seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,
dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.
Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung
3
bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat
hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan
jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.
Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau
mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri
dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat
universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan
keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi
terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan
proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai
konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan
batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk
kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang
alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi
oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi
penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak
kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama
keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan
kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan
sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan
sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur
pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko
penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau
karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar
rutinitas rumah tangga;
4
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan
bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang
hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah
meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian
baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap
struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami
isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak
meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,
kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan
baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses
penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,
akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier
dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit
melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan
baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.
Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem
pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral
dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak
lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan
norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh
masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan
contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan
di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada
lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara
bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang
normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka
menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,
tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka
merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap
seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,
sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh
tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau
harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar
dilakukan.
5
II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari
teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian
disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di
samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan
rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah
karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya
mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan";
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan
keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan
bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap
diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga
mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa
melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin
kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh
informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari
pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,
show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk
berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan
tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara
berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,
sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?,
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,
lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga
terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN.
6
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7
kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di
sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap
segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,
yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta
semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat
aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam
perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap
hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan
seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.
Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,
ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,
dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat
jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan
sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung
unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,
kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar
sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan
bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari
ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku
seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan
datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap
kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata
dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk
memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta
sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung
unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum
dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja
semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
7
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga
dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya
tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika
kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan
komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam
kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,
perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan
aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas
dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang
dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara
tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks
pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum
lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan
melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri
dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks
yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,
bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan
rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai
tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung
tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku
pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup
bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata
karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.
Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan
reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk
mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian
tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong
oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung
memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif
penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui
pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti
8
sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak
wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan
hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan
hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan
pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi
keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup
menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan
rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independen
dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa),
sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri
memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak
mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku
seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos
cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru
diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala
yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai
pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks
tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks
cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang
melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat
dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan
wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa
ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko
perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik
keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini
sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui
kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra).
Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak
mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga
tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui
cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak
mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula
dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral.
Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa,
penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap
perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling
9
suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini
mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan
(love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah.
Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks
manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan
tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang
tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu.
Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan
yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok
untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara
terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan
akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan
masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu
masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit
mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya,
maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung
sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua
tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan
jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap
hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua
tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan,
di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks
bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status sosial
yang rendah dalam kehidupan masyarakat
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang
kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas
mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang
membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini
bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan
bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan
hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,
berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi
cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani
dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang
ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa
mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks
sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas
kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai
dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang
seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap
belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup
pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka
sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang
seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,
dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.
Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung
3
bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat
hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan
jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.
Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau
mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri
dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat
universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan
keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi
terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan
proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai
konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan
batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk
kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang
alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi
oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi
penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak
kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama
keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan
kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan
sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan
sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur
pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko
penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau
karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar
rutinitas rumah tangga;
4
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan
bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang
hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah
meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian
baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap
struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami
isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak
meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,
kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan
baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses
penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,
akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier
dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit
melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan
baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.
Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem
pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral
dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak
lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan
norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh
masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan
contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan
di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada
lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara
bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang
normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka
menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,
tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka
merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap
seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,
sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh
tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau
harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar
dilakukan.
5
II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari
teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian
disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di
samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan
rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah
karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya
mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan";
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan
keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan
bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap
diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga
mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa
melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin
kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh
informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari
pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,
show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk
berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan
tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara
berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,
sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?,
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,
lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga
terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN.
6
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7
kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di
sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap
segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,
yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta
semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat
aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam
perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap
hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan
seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.
Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,
ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,
dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat
jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan
sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung
unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,
kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar
sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan
bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari
ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku
seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan
datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap
kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata
dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk
memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta
sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung
unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum
dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja
semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
7
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga
dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya
tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika
kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan
komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam
kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,
perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan
aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas
dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang
dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara
tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks
pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum
lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan
melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri
dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks
yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,
bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan
rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai
tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung
tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku
pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup
bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata
karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.
Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan
reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk
mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian
tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong
oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung
memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif
penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui
pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti
8
sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak
wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan
hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan
hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan
pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi
keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup
menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan
rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independen
dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa),
sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri
memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak
mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku
seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos
cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru
diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala
yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai
pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks
tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks
cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang
melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat
dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan
wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa
ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko
perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik
keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini
sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui
kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra).
Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak
mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga
tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui
cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak
mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula
dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral.
Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa,
penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap
perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling
9
suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini
mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan
(love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah.
Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks
manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan
tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang
tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu.
Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan
yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok
untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara
terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan
akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan
masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu
masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit
mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya,
maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung
sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua
tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan
jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap
hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua
tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan,
di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks
bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status sosial
yang rendah dalam kehidupan masyarakat
Malam minggu adalah
malam yang sangat ditunggu-tunggu bagi para remaja baik yang mempunyai
pacar atau pun tidak mempunyai pacar. Kalau ada yang bertanya mengapa
harus malam minggu saya yakin semua orang bisa menjawab, karena malam
minggu adalah malam yang panjang dimana esok hari nya adalah hari libur.
Oleh sebab itu malam minggu dimanfaatkan oleh kebanyakan para remaja
yang masih sekolah, kuliah, maupun yang sudah bekerja untuk beristirat
memikirkan pelajaran sekolah, kuliah atau masalah kerjaan artinya malam
minggu adalah waktunya untuk bersenang-senang.
Para remaja putra putri yang mempunyai pacar atau kekasih biasanya
menghabiskan malam minggu dengan melakukan hal-hal wajib seperti
mengunjungi rumah sang kekasih atau sering disebut (ngapel),
berjalan-jalan berdua di taman, pergi ke mall untuk nonton atau karaoke,
pergi ke kafe, nonton konser musik, dan lain sebagainya. Mengapa saya
bilang wajib karena jika malam minggu tidak dihabiskan dengan hal-hal
seperti saya sebutkan tadi, maka ada kecurigaan bahwa si pacar baik
perempuan maupun laki-lakinya sudah tidak mencintai atau sudah merasa
bosan berpacaran dan hal ini bisa menyebabkan mereka putus. Kecuali bagi
mereka yang melakukan pacaran jarak jauh (long distance reletionship)
itupun masih ada kegiatan wajib yang harus mereka lakukan supaya tidak
ada kecurigaan bahwa si pacar sudah tidak cinta atau bosan pacaran jarak
jauh, kegiatan wajib itu adalah komunikasi dengan menelfon. Tidak
jarang banyak dari mereka yang menghabiskan pulsa untuk menelfon
pacarnya sampai berjam-jam.
Mereka sama sekali tidak memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan
untuk biaya pacaran, seperti membeli pulsa, membeli tiket konser musik,
mentraktir makan dan minum di kafe, membeli bensin motor untuk
jalan-jalan mengelilingi kota. “Yah cinta itu kan butuh pengorbanan”
kata mereka. Cinta memang butuh pengorbanan, apalagi pacaran butuh biaya
banyak. Tapi itulah kekuatan cinta yang tidak diiringi dengan
pengetahuan yang cukup ditambah jiwa muda yang masih penuh dengan gelora
kesenangan sesaat, tidak peduli apakah pacar nya memang benar akan
menjadi istri/suaminya kelak yang penting bisa merasakan indahnya
pacaran.
Memang tidak ada yang salah dengan pengorbanan cinta, cinta memang harus
diperjuangkan tapi dengan syarat raihlah cinta itu dengan cara-cara
yang benar disertai rasa tanggungjawab. Yang sangat saya sesali banyak
dari remaja baik putra maupun putri yang melakukan tindakan menyimpang
(deviant behavior) untuk menuruti kehendak/nafsu berpacarannya. Mengapa
saya berani bilang seperti itu, tentu ada alasanya. Coba lihat saja di
berita-berita baik di media cetak, maupun elektronik. Kita bisa
menemukan banyak berita tentang pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, dan
penganiayaan yang pelaku dan korbannya adalah remaja. Semua tindakan
kejahatan tersebut bisa terjadi tentunya di sebabkan oleh kekuatan cinta
yang tidak diiringi dengan pengetahuan yang cukup ditambah jiwa muda
yang masih penuh dengan gelora kesenangan sesaat. Naudzubillahhi
mindzalik
Aduh kok jadi serius ngomongin dampak negatif pacaran ya??
Pembaca yang sedang berpacaran atau memiliki pacar pasti ada yang kurang
setuju dengan tulisan saya ni..Kalau pacaran itu banyak negatifnya. Hmm
tenang maksud saya disini tidak untuk menghakimi kalian. Saya juga
tidak bermaksud untuk sok menasihati. Terserah individu masing-masing
kan mau melakukan apa saja baik yang dilarang maupun yang tidak dilarang
semuanya kan dipertanggungjawabkan sendiri tidak ada urusannya dengan
saya. Benar sekali,,Iya disini saya hanya memberikan sedikit unek-unek
yang ada di pikiran saya. Semoga saja bermanfat bagi pembaca yang
kiranya menganggap tulisan ini bermanfaat.
Oh iya kembali lagi ke judul “Remaja dan Malam Minggu”.
Tadi adalah bahasan malam minggu bagi remaja yang memiliki pacar, nah
sekarang lanjut masih membahas tentang remaja dan malam minggu namun
kali bukan remaja yang tidak memiliki pacar alias Jomblowan and
Jomblowati.
Bagi para remaja putra putri yang tidak memiliki pacar alias Jomblowan
and Jomblowati biasanya menghabiskan malam minggu dengan berkumpul
bersama teman, pergi ke tempat-tempat gaul anak muda seperti kafe, untuk
sekedar mejeng atau mencari kenalan yang nantinya bisa berlanjut
kepacaran. Katanya si biar tidak dibilang anak Mami, Jadul, Primitif
atau apalah ada ada saja . Sehingga tidak heran jika banyak teman yang
menanyakan “Malam minggu acaranya ke mana ni?” kadang risih juga sih
bosan dengarnya. Pembaca mungkin ada yang bertanya “Masa iya sih semua
remaja seperti itu??
Memang tidak benar apabila saya mengatakan bahwa semua remaja seperti
itu, tentu masih ada remaja yang menghabiskan waktu malam minggu nya
dengan melakukan hal-hal positif seperti membaca buku di rumah,
bercengkrama dengan keluarga, mengaji dan menonton tv di rumah.
Tergantung bagaimana cara orang tua mereka memberi pemahaman kepada
anak-anaknya tentang hal-hal yang baik untuk dilakukan dan yang tidak
baik untuk dilakukan.
Tapi nampaknya hal itu sangat jarang saya jumpai sekarang ini, pernah
ada satu kesempatan ketika saya sedang berjalan menuju ke rumah sepulang
kuliah karena hari itu kebetulan cuaca tidak terlalu panas dan lokasi
kampus tidak jauh dari rumah maka saya memutuskan untuk pargi ke kampus
jalan kaki. Di jalan saya tidak sendiri ada sekitar 5 siswi SMP yang
kebetulan juga baru pulang sekolah akhirnya kami saling menyapa dan
berjalan beriringan.
“Baru jam 11 kok udah pada pulang? tanya ku mengwali percakapan. “Iya
kan hari sabtu pulang awal ka”. jawab mereka serentak. “ooh sabtu pulang
awal emang kelas berapa?”, jawabku santai. “Iya lah kak emang anak
kuliahan aja yang sabtu pulang awal, anak SMP juga dong” tukas salah
satu anak yang berjalan tepat di sebelah saya namanya Wida. “Memangnya
kenapa hari sabtu harus pulang awal?” tanya ku lagi. “Ceileh kaka kaya
ga tau aja, kaka kalau hari sabtu pasti siap-siap kan buat jalan ma
pacar?” jawab salah satu anak yang posturnya paling tinggi di antara
temenya namanya Wanti. Sejenak saya terdiam sambil berpikir apa
hubunganya hari sabtu, pulang awal dan siap-siap buat jalan sama
pacar??? “Memangnya kalian mau jalan nanti malam?” tanya ku lagi agak
aneh. “Iyaa..kaka” mereka serentak menjawab, hanya satu anak berkaca
mata yang tidak ikut menjawab namanya cici. “Jalan sama-sama? ada acara
apa?”, Tanya ku lagi semakin penasaran, di benaku mungkin mereka akan
menghadiri salah satu pesta ulang tahun temen nya.
“Jalan masing-masing lah, pacar ku sih tadi sms katanya mau ngajak
nonton” jawab Wanti. “Hmm pacar ku palah belum ada sms ni, jangan-jangan
nanti dia mau jalan sama cewe lain lagi.” , keluh teman di sebelahnya.
“Iyaa pasti selingkuh tuu.. “ serentak 3 teman nya menyahut. Mereka
sibuk membicarakan rencana malam minggu dengan pacarnya masing-masing.
Saya masih diliputi rasa heran, bagaimana mungkin anak-anak SMP yang
mungkin masih kelas 2 atau 3 ini sudah memiliki pacar dan diizinkan oleh
orang tuanya untuk menikmati malam minggu dengan berjalan bersama
pacar.
Mereka masih sibuk membicarakan hal tadi, sementara saya masih
memikirkan hal yang sama sampai tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara
sorakkan mereka. “Iyah malam minggu masa belajar, hari gini gituloh!!
kenapa ga ngaji sekalian?” teriak Wanti. Dan disambut oleh sorakan
cemoohan teman-temannya. “Wah ada apa ko teriak gitu??” tanya ku yang
kurang menyimak pembicaraan mereka karena disibukan oleh
keanehan-keanehan tadi. “Ini loh kak si Cici katanya nanti malam mau
belajar!” belum sempat saya menanggapi, kembali lagi yang lain menyahut “
Cici kan ga punya pacar jadi mau jalan sama siapa? paling sama mamanya
ha..haa..dasar anak mami!”, mereka semakin mencemooh sambil tertawa.
Mungkin menurut mereka ini adalah sesuatu yang tidak lazim atau lucu
sehingga membuat mereka tertawa. Sungguh sangat miris mendengarnya tapi
mau berbuat apa, apabila di saat itu saya langsung menasihati mereka
pasti mereka juga akan balik mentertawakan saya. Akhirnya saya diam saja
pura-pura tidak terlalu mengkhawatirkan masalah ini, meskipun hati ini
terus diliputi rasa seakan tidak percaya kalau pergaulan anak-anak zaman
sekarang sudah separah itu.
Sudah reda mereka berceloteh, saya kembali bertanya” Kenapa sih kalian
bisa mencela Cici sampai seperti itu, belajar kan hal yang bagus dan
bermanfaat lagi.” saya mencoba membela cici yang mukanya nampak merah
karena jengkel dengan olokan teman-temannya. “ Iya sih ka, memang cici
itu pintar selalu ranking 1 di kelas tapi masa orang tuanya galak ga
ngebolehin Cici pacaran. Kan kasian di sekolah dia jadi bahan
tertawaan.” jawab Wida dengan semangat . “Iya orang tua nya Cici konyol
masa hari gini pacaran aja dilarang.” Wanti menyahut seenaknya. Sebelum
pembicaraan mereka semakin menyudutkan Cici, saya langsung ambil alih
percakapan. “Ooh Cici pintar ya selalu ranking 1, pasti orang tua mu
sangat bangga ya. Lebih bagus ga punya pacar dan berprestasi dari pada
punya pacar tapi prestasinya nol kan betul ga?”. saya lihat wajah Cici
mulai cerah mendapat pembelaan yang sangat berarti buat dia. . “Iya
ka..”, jawab mereka, kali ini mereka berubah menjadi anak yang lebih
menyenangkan. “Iya contohnya Wanti ka dia kan ga naik kelas tuh.” sahut
Wida pelan, mungkin wida takut nanti akan dimarahi oleh Wanti karena
nampaknya yang memiliki kuasa di situ adalah Wanti seorang anak yang
postur tubuhnya paling tinggi diantara anak-anak lainnya dan ternyata
dia adalah salah satu siswi yang tinggal kelas.
Percakapan pada siang itu akhirnya harus terputus karena saya sudah
sampai di depan Komplek rumah. Saya harus belok sementara siswi-siswi
SMP itu masih harus melewati 3 komplek untuk sampai ke rumahnya
masing-masing.
Dari cerita di atas setidaknya menggambarkan bahwa seorang anak seperti
Cici sekarang jumlahnya adalah 1 berbanding 5 artinya orang tua yang
melarang anaknya untuk berpacaran dan benar-benar memperhatikan perilaku
anaknya sangatlah sedikit. Bahkan ada orang tua yang terang-terangan
membiarkan anaknya keluyuran hingga tengah malam entah apa yang
dikerjakan oleh anak itu di luar mereka tidak perduli. Kebanyakan dari
mereka terlalu sibuk memikirkan urusannya masing-masing sehingga
melupakan peran pentingnya sebagai orang tua. Hal itu disebabkan oleh
banyak faktor dari kebutuhan ekonomi, kondisi zaman yang telah berubah,
demokrasi yang kebablasan dan lain-lain yang sudah sering dibahas di
artikel, koran maupun buku.
Menikmati malam minggu bersama teman, pacar ataupun keluarga sekali lagi
adalah hal yang sudah wajar dan boleh-boleh saja. Setiap orang memiliki
hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Selama hak tersebut tidak
menyebabkan kerugian bagi orang lain mengapa kita musti melarang ataupun
mentertawakannya. Tapi ingatlah selalu menuruti kehendak/nafsu kita
juga tidak baik, ada kalanya kita harus mengerem segala
keinginan-keinginan yang belum tentu baik dan bermanfaat bagi kita.
Mohon selalu diingat!! Setiap orang memiliki hak untuk memilih jalan
hidupnya sendiri. Selama hak tersebut tidak menyebabkan kerugian bagi
orang lain mengapa kita musti melarang ataupun mentertawakannya.
Janganlah menganggap suatu olokan adalah hal yang biasa yang mudah saja
keluar dari mulut selagi bercanda, membuat hati puas dan tertawa di atas
hati yang terluka. Ingatlah !! Mencemooh atau menterwawakan orang lain
membuat kepuasan tersendiri bagi orang-orang yang bodoh, atau
maaf..orang yang Tolol. Karena ketika dia sedang mengolok, menghina dan
menyakiti perasaan seseorang, apalagi di depan orang-orang banyak dengan
tujuan untuk mempermalukan seseorang itu dan menjadikan ini suatu
lelucon yang memuaskan hatinya, pada hakekatnya dia adalah orang yang
sedang mengubur kepintaranya dan menunjukan ke semua orang kalau dia
adalah orang yang paling Tolol sedunia dan akhirat.
Kasus ini berdasarkan cerita Wanti dan teman-temanya tadi yang mengolok
dan mentertawakan Cici seenaknya. Padahal apa yang dilakukan oleh Cici
sama sekali tidak merugikan mereka. Jujur saja peran antagonis Wanti
disini baik sengaja atau tidak sengaja seringkali terjadi baik di
lingkungan sekolah, kampus, maupun masyarakat. Suatu olokan dianggap
sebagai suatu kelucuan. Astagfirrullah semoga kita tidak menganggap ini
adalah sesuatu hal yang wajar.
Menyalahkan Wanti dan teman-temannya sepenuhnya pun rasanya tidak adil
karena banyak faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, dari
kurangnya pendidikan dari orang tua, film, sinetron di TV yang
seringkali mempertontonkan cara-cara melakukan tindakan kejahatan, yang
menyakiti perasaan orang lain seperti mencemooh, menganiaya dan lain
sebagainya.
Kita tidak perlu menjadi Cici tapi jangan sekali-sekali menjadi Wanti.
Pengalaman pribadi juga waktu masih SMA saya sering menjadi bahan olokan
oleh teman-teman yang saya masih ingat jelas wajahnya. Tapi saya juga
salah mengapa saya hanya diam seakan tak berdaya, Andai saja waktu itu
saya bisa lebih berani menghadapi kenakalan mereka dan tidak memberi
kesempatan untuk mereka mentertawakan saya pastinya mereka juga tidak
akan terus mengolok-olok saya. Hmm ok just forget it. May Allah forgive
me and them. Amin.
Terimakasih sudah membaca,
Maaf tulisannya masih amburadul karena baru belajar menulis. J
Alaways learn to be a good writer.
Nur Hasanah
/nurhasanah
Nurhasanah seorang mahasiswi STKIP-PGRI Pontianak. Daerah Asalnya, kec.
Seponti Jaya. Kabupaten Kayong Utara. Lagi menimba ilmu
sebanyak-banyaknya untuk bekal jadi guru
Selengkapnya...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/nurhasanah/remaja-dan-malam-minggu_54ff9336a33311194d510659
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/nurhasanah/remaja-dan-malam-minggu_54ff9336a33311194d510659
No comments:
Post a Comment