1. Puteri Lindung Bulan
Puteri
Lindung Bulan yang juga disebut Puteri Sri Kandee Negeri adalah puteri
Raja Muda Sedia yang memerintah Negeri Benua Tamieng (negara bagian dari
Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 735 - 800 H (1353 - 1398 M).
Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di
belakang layar, Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam
berbagai urusan kerajaan, yang pada hakekatnya adalah sebagai Perdana
Menteri dalam pekerjaannya. Ketika angkatan perang Majapahit di bawah
pimpinan Patih Nala telah menduduki Pulau Kampey pada tahun 779 H (1377
M), lalu mengirim utusan kepada Raja Muda Sedia di kota Masmani untuk
meminta agar Negeri Benua Tamieng tunduk kepada Kerajaan Majapahit dan
Puteri Lindung Bulan diserahkan kepada Raja Hayam Wuruk sebagai
persembahan.
Sebagai
seorang muslim Raja Muda Sedia menolak permintaan itu, dan sebagai
seorang muslimat sudah tentu Puteri Lindung Bulan tidak mau diserahkan
kepada Raja Majapahit yang "bukan Islam". Akibatnya Patih Nala menyerang
Negeri Benua Tamieng dimana terjadi pertempuran yang hebat di kota
Masmani yang dipertahankan oleh tentara Benua di bawah pimpinan
Lakseumana Kantom Mano.
Kota
Masmani direbut, Raja Muda Sedia dan permaisurinya melarikan diri ke
kota Peunaron, namun Puteri Lindung Bulan membiarkan diri ditawan oleh
Patih Nala dengan tujuan hanya sebagai suatu siasat. Dengan suatu tipu
daya dari Puteri Lindung Bulan, maka beberapa waktu kemudian angkatan
perang Negeri Benua dapat merebut kembali kota Masmani yang telah
hancur, dan Puteri Lindung Bulan dibebaskan, setelah serangan tiba-tiba
tengah malam yang dilakukan oleh Lakseumana Kantom Mano. Karena kecewa
tidak dapat menaklukkan Negeri Benua dan menyerahkan Puteri Lindung
Bulan sebagai persembahan kepada Prabu Hayam Wuruk, maka Patih Nala
melanjutkan perang perluasan kerajan Majapahit ke wilayah kerajaan Islam
Perlak dan Samudera Pasai. Namun sementara itu terdengar berita bahwa
Prabu Hayam Wuruk meninggal dunia, semangat perang Patih Nala menjadi
patah, dan dengan tergesa-gesa ia menarik angkatan perangnya dari Perlak
dan
Pasai untuk kembali ke Majapahit.
2. Puteri Pahang
Tatkala
Sultan Iskandarmuda pada tahun 1615 menyerang kembali Johor untuk kedua
kalinya dan kemudian memperluas wilayah perlindungannya sampai ke
Pahang pada tahun 1617 karena kedua kerajaan itu telah bersekongkol
dengan Portugis, maka sejumlah besar rakyat negeri Pahang ditawan dan
dibawa ke Aceh, termasuk seorang puteri Raja Pahang bernama Puteri
Kamaliah yang kemudian dijadikan permaisuri oleh Sultan Iskandarmuda.
Puteri Pahang itu dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai
Permaisuri Raja, tetapi juga menjadi penasihat bagi suaminya. Ia sangat
bijaksana dan menjadi sangat termashur dengan nama Putroe Phang.
Salah
satu dari nasihat Puteri Pahang yang dilaksanakan oleh Sultan
Iskandarmuda, dan yang mata bersejarah, ialah pembentukan sebuah lembaga
yang disebut Balai Majlis Mahkamah Rakyat (semacam DPR sekarang), yang
beranggotakan 73 orang yang mewakili Mukim dalam Kerajaan Aceh
Darussalam.
Untuk
mengabadikan jasa dan karya besar Puteri Pahang itu, maka semua produk
Majlis Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Puteri Pahang, sebagaimana
tercermin dalam sebuah Hadih Maja (kata berhikmat) yang berbunyi
sebagai berikut:
Adat bak Poteu Meureuhoom
Hukoom bak Syiah Kuala
Kanun bak Putroe Phang
Reusam bak Lakseumana
Hukom ngon adat
Lagee zat ngon sifeut
Hadih Maja tersebut menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam kerajaan Aceh Darussalam, yaitu :
1.
Kekuasaan eksekutif (kekuasaan politik/adat) yang berada di tangan
Sultan yang disebut Poteu Meureuhoom, yaitu Iskandarmuda yang
menciptakan sistim tersebut.
(baris 1)
2. Kekuasaan
yudikatif atau pelaksanaan hukum yang berada di tangan ulama. Karena
Syekh Abdurrauf Syiah Kuala merupakan seorang ahli hukum dan Kadli
Malikul Adil yang amat menonjol, maka pelaksanaan kekuasaan yudikatif
itu dibangsakan kepadanya yang bergelar Syiah Kuala, (baris 2)
3. Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang).
Dan
kekuasaan ini berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan oleh
Puteri Pahang, karena ialah yang memberi nasihat kepada Iskandarmuda
untuk membentuk Balai Majlis Mahkamah Rakyat. (baris 3)
4. Peraturan keprotokolan atau reusam diserahkan pada Laksamana/Panglima Angkatan Perang Aceh. (baris 4)
5.
Akhirnya dalam Hadih Maja itu dinyatakan bahwa dalam keadaan
bagaimanapun, antara adat, kanun dan reusam tidak boleh dipisahkan dari
hukoom (ajaran Islam), sebagaimana tercantum dalam baris 5 dan 6.
Hadih Maja itu tetap menjadi filsafat hidup orang
Aceh,
dan tiga nama tetap menjadi ingatan, yaitu : Iskandarmuda, Syekh
Abdurrauf Syiah Kuala dan Puteri Pahang. Keberadaan Lembaga Balai Majlis
Mahkamah Rakyat itu terus berlanjut.
Pada
masa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan Raja Iskandar Sani, sebanyak 17
orang dari 73 orang anggota Balai Majlis Mahkamah Rakyat itu adalah
wanita.
3. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu
Ratu
Nihrasiyah Khadiyu adalah Sulthanah terakhir dari Kerajaan Islam
Samudera Pasai yang memerintah tahun 801 - 831 H (1400 - 1428 M),
setelah mangkat ayahnya Sultan Zainal Abidin Malikud Dhahir yang
memerintah Kerajaan Pasai tahun 750 - 798 H (1350 - 1359 M).
Sultan
Zainal Abidin, ayah Ratu Nihrasiyah, mangkat dalam suatu pertempuran
perebutan kekuasaan oleh panglimanya Lakseumana Nagur Rabath Abdulkadir
Syah, yang kemudian ia dibunuh oleh perwira bawahannya yang bernama Arya
Bakoy, yang juga menjabat Syahbandar Samudera Pasai. Arya Bakoy
kemudian kawin dengan janda Zainal Abidin, yang berarti menjadi ayah
tiri dari Ratu Nihrasiyah. Sebagai membalas jasa kepada Arya Bakoy yang
telah membunuh pembunuh ayahnya, maka Ratu Nihrasiyah mengangkat ayah
tirinya itu menjadi Perdana Menteri Kerajaan Samudera Pasai dengan gelar
Maharaja Bakoy Ahmad Permala.
Tetapi
ternyata kemudian bahwa Arya Bakoy adalah penganut ajarah Wahdatul
Wujudyang telah jauh menyimpang dari ajaran aslinya, dan membunuh
orang-orang yang menentang ajarannya itu. Menurut ajaran Arya Bakoy,
seseorang boleh kawin dengan anak kandungnya sendiri, karena ia sendiri
ingin kawin dengan putri kandungnya yang cantik bernama Puteri Madoong
Peria. Karena Ratu Nihrasiyah menentang ajaran Arya Bakoy yang akan
mengawini puteri kandungnya sendiri itu, maka Perdana Menteri Arya Bakoy
berusaha merebut kekuasaan dari Ratu Nihrasiyah. Ratu menyuruh
menangkap Arya Bakoy, dan dalam suatu "perang tanding" dengan Malik
Mustafa, suami Ratu yang bergelar Pocut Cindai Simpul Alam maka Arya
Bakoy tewas.
Kerajaan
Samudera Pasai di bawah pemerintahan Ratu Nihrasiyah mencapai puncak
kemajuan. Kalau kakeknya, Sultan Malikus Saleh yang memerintah tahun 659
- 688 H (1261 - 1289 M), adalah pembangun awal dari tamaddun Islam di
Samudera Pasai, maka Ratu Nihrasiyah merupakan penyempurna pembangunan
kerajaan itu, malah pada zamannya kerajaan Samudera Pasai mencapai
puncak tamaddun, yang menjadi azas kuat bagi tamaddun kerajaan Aceh
Darussalam, setelah pada tahun 1611 M , Kerajaan Islam Samudera Pasai
digabungkan ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Makam Ratu Nihrasiyah
yang terletak dalam komplek Makam Raja-Raja Samudera Pasai, merupakan
sebuah makam yang terindah, dengan ukiran kaligrafi ayat-ayat Al -Qur'an
yang bernilai seni tinggi dan mengagumkan.
4. Ratu Safiatuddin
Setelah
Sultan Iskandar Sani wafat, maka atas keputusan pembesar negara dan
para ulama, dinobatkanlah Puteri Safinah anak Sultan Iskandar muda
Meukuta Alam dan yang juga pada waktu itu isteri Sultan Iskandar Sani,
menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu Tajul
Alam Safiatuddin.
Semenjak
berusia 7 tahun, Safiatuddin telah belajar bersama-sama Iskandar Sani
(asal dari Negeri Pahang) dan putra putri istana lainnya pada
ulama-ulama besar seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin
Ar-Raniry, Syekh Kamaluddin dan lain-lain yang semuanya adalah guru
besar pada Jami' Baiturrahman pada waktu itu. Sehingga setelah selesai
pendidikannya, Safiatuddin telah mampu menguasai berbagai ilmu
pengetahuan dan berbagai bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia dan Spanyol,
di samping alim dalam ilmu fikh (hukum) termasuk hukum tata negara, ilmu
sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, sastra dan lain-lain. Setelah masa
Iskandarmuda, maka masa pemerintahan Ratu Safiatuddin adalah zaman emas
ilmu pengetahuan dalam kerajaan Aceh Darussalam. Pada masanya banyak
muncul ulama besar seperti Syekh Nurruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf
Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursany, dan lainlain. Ia mendorong para
ulama dan sarjana mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu,
dimana dalam mukaddimah buku-buku itu disebutkan bahwa buku itu dikarang
atas anjuran Ratu Safiatuddin, seperti misalnya buku Hidayatul Iman Fi
Fadhlil Manan karya Nuruddin Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya
Abdurrauf Syiah Kuala. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Nuruddin
Ar-Raniry telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf
menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu. Karena itu tidak
heran apabila pada masa itu ibukota kerajaan Aceh Darussalam menjadi
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara.
Di
samping perhatiannya kepada kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Ratu
Safiatuddin juga menaruh perhatian kepada kedudukan kaum wanita. Banyak
peraturan yang dibuatnya untuk melindungi kaum wanita. Ratu Safiatuddin
mempunyai kebijaksanaan dan kemampuan yang luar biasa, seperti
dikemukakan oleh Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad",
antara lain :
"
Kelebihan TajulAlam dalam kenegaraan terlihat pula dari kuatnya
dukungan para Menteri, orang besar dan para ulama atasnya. Menurut
catatan, lembaga kenegaraan Tiga Sagi diadakan oleh Tajul Alam. Dua
orang cerdikpandai dan berpengaruh dengan kuat mendukungnya. Mereka
adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf sendiri. Tampak
dengan dukungan ini tidak ada kekolotan keagamaan dalam membenarkan
seorang wanita menjadi raja. Kesanggupan dan ketangkasannya tidak beda
dengan apa yang dimiliki raja laki-laki. Tajul Alam bukan saja telah
berhasil mengatasi ujian berat untuk membuktïkan kecakapannya memerintah
tidak kalah dari seorang laki-laki, tetapijuga berhasil mengadakan
pembaharuan dalampemerintahan, memperluaspengertian demokrasi yang
selama ini kurang disadari oleh kaum
laki-laki sendiri "
Kebesaran Ratu Safiatuddin juga digambarkan dalam bermacam-macam hikayat terkenal di Aceh.
5. Ratu Naqiatuddin
Ketika
ia masih hidup, Ratu Safiatuddin telah mempersiapkan tiga orang wanita
untuk menjadi penggantinya, salah seorang bernama Puteri Naqiah. Sesuai
dengan ketentuan dalam Kanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, maka
sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, dilantiklah Puteri Naqiah menjadi
Raja Aceh pada tanggal 1 Sya'ban 1086 H (23 Oktober 1675 M), dengan
gelar Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, yang memerintah sampai tahun
1678 M .
Sejak
awal pemerintahannya Ratu Naqiatuddin telah menghadapi
tantangan-tantangan yang besar, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Ancaman terhadap kerajaan Aceh bertambah hebat dari Barat (Belanda,
Portugis, Inggeris) yang membawa agama Kristen, sementara di dalam
negeri "kaum Wujudiyah" yang telah menyimpang dari ajaran Islam,
berusaha meningkatkan oposisinya terhadap Ratu Naqiatuddin dengan
melakukan sabotase berupa pembakaran kota Banda Aceh.
Masjid
Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sulthan beserta segala isinya habis
musnah dimakan api. Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat itu turut
menggemparkan Malaka, yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan
pada tahun 1677 M . Dalam upaya menekan oposisi "kaum wujudiyah" dan
kelompok oposisi lain, Ratu Naqiatuddin mengadakan perobahan-perobahan
dalam pemerintahan, antara lain menyempurnakan Kanun Al-Asyi atau Adat
Meukuta Alam, dengan petunjuk-petunjuk Kadli Malikul Adil Syekh
Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majlis Mahkamah
Rakyat. Perubahan itu antara lain mengenai ketentuan pengangkatan Sultan
dan penyempurnaan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Ratu
Safiatuddin. Dalam hubungan itu, maka kedudukan ketiga Panglima Sagi
menjadi sangat kuat, dimana merekalah yang memberi kata akhir dalam
pengangkatan atau pemberhentian seorang Sultan. Sabotase dari "kaum
Wujudiyah" menyebabkan pemerintahan
Seri Ratu Naqiatuddin tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para Ratu yang memerintah setelahnya.
6. Ratu Zakiatuddin
Ratu
Zakiatuddin meninggal pada tanggal 1 Zulka'idah 1088 H (23 Januari 1678
M), dan sebelum pemakamannya terlebih dahulu dilantik Puteri Zakiyah
menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Seri Ratu
Zakiatuddin Inayat Syah, yang memerintah sampai tahun 1688 M .
Puteri
Zakiah adalah calon pengganti kedua yang dipersiapkan oleh Ratu
Safiatuddin untuk memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka yang
dipersiapkan itu telah dididik dalam istana Darud Dunia dengan berbagai
ilmu pengetahuan: ilmu hukum termasuk hukum tatanegara, sejarah,
filsafat, kesusastraan/adab, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab,
Bahasa Persia, bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. (Yang mengajarkan
bahasa Spanyol dan Inggris adalah seorang wanita Belanda yang menjadi
sekretaris Ratu Safiatuddin). Begitu naik tahta, Ratu Zakiatuddin juga
menghadapi tantangan berat, malah lebih berat dari pendahulunya. Hanya
karena pengaruh yang besar dari Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah
Kuala, tantangan-tantangan itu dapat diatasinya. Kebijaksanaan para
pendahulunya, baik terhadap VOC maupun terhadap rongrongan "kaum
wujudiyah" diteruskannya.
Di
Sumatera Barat Ratu Zakiatuddin menunjukkan kekuasaannya terhadap V O V
dengan menarik kembali Bayang ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Sikap
tegas demikian itu mendapat sambutan baik dari masyarakat Minangkabau,
sehingga menimbulkan kesulitan bagi perwakilan V O C di Padang yang
harus menghadapi peperangan yang hebat selama dua tahun dengan rakyat
disana. Ketika pemerintahannya pernah datang ke Aceh utusan Inggeris dan
utusan Syarif Mekkah. Utusan Inggeris meminta agar diizinkan mendirikan
kantor Dagangnya di Aceh bersama loji militer, tetapi permintaan itu
ditolak dengan marah oleh Ratu.
Utusan
Syarif Mekkah tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681 M) dan tinggal di
Aceh selama satu tahun. Mereka kagum akan kemampuan Ratu yang berbicara
dalam bahasa Arab tanpa memakai jurubahasa serta kagum akan berbagai
bangsa yang tinggal di Banda Aceh, yang kebanyakannya para saudagar. Di
antara rombongan Syarif Mekkah itu terdapat dua bersaudara yang bernama
Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Utusan Syarif Mekkah kembali
kenegerinya, kecuali mereka berdua, yang ternyata kemudian ketika
pemerintahan Ratu Kamalat Syah keduanya mempelopori perebutan kekuasaan
dalam kerajaan. Setelah memerintah 10 tahun lamanya, Ratu Zakiatuddin
meninggal pada 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober 1688 M).
7. Ratu Kamalat Syah
Puteri
Kamalah, orang ketiga yang telah dipersiapkan oleh Ratu Safiatuddin
untuk memimpin pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam, dinobatkan pada
hari meninggalnya Ratu Zakiatuddin, yaitu sebelum upacara pemakamannya.
Puteri Kamalah menjadi Sultanah dengan gelar Seri Ratu Kamalatuddin
Inayah Syah. Meninggalnya Ratu Zakiatuddin dipergunakan sebaik- baiknya
oleh kelompok politisi yang memperalat "kaum wujudiyah" untuk merebut
kekuasaan.
Karena
itu penobatan Ratu Kamalat Syah mengalami goncangan. Dalam kelompok
orang yang ingin merebut kekuasaan termasuk beberapa orang hulubalang
yang merasa telah kehilangan beberapa hak istimewa mereka sejak
pemerintahan Ratu Safiatuddin, yang karena itu tidak puas dengan
pemerintahan seorang Ratu. "Kaum Wujudiyah" terus menerus merongrong
agar kerajaan tidak boleh lagi dipegangoleh seorang wanita. D i antara
tokoh yang mempelopori perebutan kekuasaan itu ialah Syarif Hasyim,
seorang dari Syarif bersaudara yang datang ke Aceh bersama-sama dengan
Syarif Mekkah kira-kira tujuh tahun sebelumnya.
Dalam bukunya "Tarich Raja-Raja Kerajaan Aceh".
M. Yunus Jamil melukiskan keadaan pada masa itu sbb :
". diangkatnya Ratu ini (Kamalat Syah) menjadi
Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam menimbulkan
kegoncangan politik, terutama dalam golongan pembesar-
pembesar negara. Adagolongan yang mendukung
Kamalat Syah dan ada pula yang berupaya supaya
Syarif Hasyim Jamalul'lail diangkat menjadi Sultan,
dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela
Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela DaengMansur,
diangkat menjadi Raja. Dengan kecerdikan dan
wewenangnya, Waliyu-Mulki, Mufti Besar Kerajaan
Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala,
kegoncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Seri
Ratu Kamaluddin Syah tetap diangkat menjadi Sultanah
Kerajaan Aceh Darussalam".
Walaupun
tantangan cukup berat dari golongan oposisi, namun Ratu Kamalat Syah,
masih memikirkan pembangunan kerajaan, termasuk pembangunan ekonomi.
Kebijakan Ratu sebelumnya dijalankan terus. Sementara hubungan dengan
Belanda semakin meruncing, hubungan dengan negara tetangga terus
dipelihara. Di samping itu beberapa perjanjian dengan Inggeris yang
memberi keuntungan kepada kerajaan juga dilakukannya (termasuk hal-hal
yang dapat melawan operasi VOC Belanda yang terus menggerogoti).
Pada
waktu Ratu Kamalat sedang membangun kerajaan dengan rencana-rencana
yang telah disahkan oleh Balai Majlis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba tangan
kanannya yang kuat, Syekh Abdurauf, meninggal dunia. Penggantinya
sebagai Kadli Malikul Adil yang baru, tidak cukup kuat untuk menghadapi
kaum oposisi yang akan menjatuhkan ratu, terutama dengan isyu tidak
boleh diperintah oleh raja wanita. Malah menurut sebuah pendapat, Kadli
Malikul Adil yang baru itupun menggabungkan diri dengankaum oposisi.
Akhirnya, Ratu Kamalat Syah harus turun tahta, yaitu pada tanggal 20
Rabiul'awal 1109 H (1699 M), dan pada hari itu juga dinobatkan Syarif
Hasyim menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan
Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluriail.
Dan
berakhirlah pemerintahan Raja-Raja wanita dalam sejarah kerajaan Aceh.
Tujuh tahun setelah turun tahta, Ratu Kamalat Syah meninggal dunia pada
tahun 1116 H (1705 M) dan dimakamkan bersama tiga orang Ratu sebelumnya
dalam "Kandang Dua Belas"yang terletak dalam komplek Darud Dunia di kota
Banda Aceh.
No comments:
Post a Comment