Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.
Nenek moyang Umar Datuk Makudum Sati berasal dari Minangkabau.
Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap
Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi
yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu
diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh.
Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad
Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim.
la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien.
Teuku
Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang
suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat
yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku
Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia
mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Selengkapnya baca Teuku Umar
2. Cut Nyak Dhien
Cut
Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh,
1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh
yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI
Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga
bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada
tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku
Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar
memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju
untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang
diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia
bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar
gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia
berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut
Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun,
sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya
karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia
dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan
pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke
Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Selengkapnya Baca Tjoet Nyak Dhien
3. Tjoet Nyak Meutia
Tjoet
Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh,
24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia
dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional
Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun
1964
Awalnya
Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya
Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik
Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai
Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada
sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya
Teuku Raja Sabi.
Tjoet
Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan
bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.
Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet
Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe
sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26
September 1910.
Tjoet
Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama
sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil
bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24
Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan
Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia
gugur.
4. Panglima Polem
Panglima
Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa
Muhammad Daud adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia yang berasal dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan
keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima
Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya
bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem
Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta
(Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe
XXII Mukim Aceh Besar.
Selengkapnya baca Palnglima Polem
5. Teuku Nyak Arif
Teuku
Nyak Arif adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau juga merupakan
Residen/gubernur Aceh yang pertama periode 1945–1946. Pada masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat Volksraad (parlemen) dibentuk,
Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh.
Teuku
Nyak Arief dilahirkan di Ulèë Lheue, Kutaraja (sekarang Banda Aceh)
pada tanggal 17 Juli 1899. Ayahnya adalah seorang Ulèë Balang bernama
Teuku Nyak Banta, ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk. Kedudukan Teuku Nyak
Banta adalah sebagai Panglima Sagi 26 Mukim wilayah Aceh Besar. Teuku
Nyak Arief merupakan anak yang ke 3 dari 5 bersaudara.
Teuku
Nyak Arief dikenal sebagai orator ulung walaupun selalu berbicara
seperlunya saja. Sangat gemar membaca terutama yang menyangkut politik
dan pemerintahan serta mendalami pengetahuan Agama. Oleh sebab itu tidak
mengherankan kalau dalam usia muda Beliau telah giat dalam pergerakan.
Beliau
diangkat menjadi ketua National Indische Partij cabang Kutaraja pada
tahun 1919. Setahun kemudian menggantikan Ayahnya sebagai Panglima Sagi
26 Mukim. Kemudian di tahun 1927 Beliau diangkat menjadi anggota Dewan
Rakyat Volksraad sampai dengan tahun 1931.
Teuku
Nyak Arief merupakan salah seorang pendiri dan anggota dari Fraksi
Nasional di Dewan Rakyat yang diketuai oleh Mohammad Husni Thamrin.
Dalam berbagai kesempatan yang diperolehnya ini Beliau banyak memberikan
sumbangan dalam bentuk perjuangan politik baik untuk kesejahteraan
rakyat maupun kemerdekaan.
Sejak tahun 1932 T. Nyak Arif memimpin gerakan dibawah tanah menentang penjajahan Belanda di Aceh.
Teuku
Nyak Arif aktif dalam kegiatan-kegiatan peningkatan pendidikan di Aceh,
beliau bersama Mr. Teuku Muhammad Hasan mendirikan Perguruan Taman
Siswa di Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga
yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara ini, T. Nyak Arif menjadi
sekretaris dengan ketuanya Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Bersama
Mr. T.M Hasan, beliau juga ikut mempelopori berdirinya organisasi
Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) yang bertujuan untuk membantu
anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu untuk sekolah.
Pada
tahun 1939 berdiri Persatuan Ulama Aceh, disingkat PUSA yang diketuai
oleh Teungku Daud Beureu'eh. Pemuda-pemuda PUSA mengadakan hubungan
dengan Jepang di Malaya sejak 1940 sampai 1942. Kemudian Jepang
mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan.
Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya
sebagai suatu kemunduran bagi pergerakan nasional.
6. Teuku Muhammad Hasan
Teuku
Muhammad Hasan adalah Gubernur Wilayah Sumatera Pertama setelah
Indonesia merdeka , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada
tahun 1948 hingga tahun 1949 dalam Kabinet Darurat . Selain itu ia
adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Teuku
Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di
Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang
di Pidie (Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di
Aceh). Ibunya bernama Tjut Manyak.
Dia
bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917.
Pada tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche
Lagere School (ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di
Batavia (sekarang Jakarta). Kemeudian beliau masuk Rechtschoogeschool
(Sekolah Tinggi Hukum).
Baca Selengkapnya T.Muhammad hasan
7. Pocut Baren
Pocut
Baren merupakan anak perempuan seorang uleebalang Teuku Cut Anmat
Tungkop sebuah kemukiman di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat.
Ia lahir pada tahun 1880 di Kabupaten Aceh Barat.
Setelah
dewasa menikah dengan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang
Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan
melewan Belanda.
Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan suaminya sebagai uleebalang, Dalam berptempur Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria.
Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok
Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan suaminya sebagai uleebalang, Dalam berptempur Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria.
Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok
Pocut
Baren adalah seorang pahlawan dan ulama wanita dari Aceh yang terkenal
gigih melawan penjajahan Belanda. Selain menjadi panglima perang, ia pun
menjadi uleebalang daerah Gome. Ia mempunyai pengikut setia yang banyak
dan membantunya dalam pertempuran melawan Belanda. Menurut cerita
penduduk, ia ikut bergerilya bersama-sama pasukan yang dipimpin oleh Cut
Nyak Dhien. Setelah Cut Nyak Dhien tertangkap oleh Belanda, Pucut Baren
tetap meneruskan perjuangan menentang penjajahan Belanda. Ia menjadi
panglima perang menggantikan suaminya yang meninggal dunia dalam
peperangan.
8. Malahayati
Malahayati,
adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan
Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama
Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana
Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah
sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra
dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan
pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada
tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana
Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil
Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati
memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang
telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda
tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam
pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar
Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal
dengan nama Laksamana Malahayati
Salah satu Pelabuhan laut di Aceh dinamakan Pelabuhan Malahayati.
Nama Malahayati dipakai oleh Ormas Nasional Demokrat sebagi nama divisi wanita-nya dengan nama lengkap Garda Wanita Malahayati.
9. Pocut Meurah Intan
Pocut
Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan
kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama
panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga
biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah
kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh
berada di bawah Wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis
politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah
XXII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Dalam
catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan
kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan
dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal
tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum
menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah
Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian
diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat
dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh
lainnya..
No comments:
Post a Comment