Sebelum
kita merenung perihal pelaku nyinyir dan korban nyinyir, ada baikknya
kita coba merenungkan tulisan Ainun Najib diatas. Yang ingin saya
renungkan bukan tulisan yang ada pada screen-shoot status orang lain, tapi caption yang menyertai screen-shot tersebut.
Kebanyakan dari kami merupakan orang pendiam, namun saat masuk dunia
game online, kebanyakan dari kami menjadi manusia super-power yang bawel
dan banyak bacot. Saat ada masalah sedikit seluruh perkataan dalam otak
keluar begitu saja, namun saat bertemu langsung, sering sekali
kehabisan topik yang akan dibicarakan selain topik game itu sendiri. Hal
ini tidak saja terjadi saat bertemu dengan lawan jenis, namu juga
teman-teman sejenisnya pula. Meski tak sedikit juga yang mengambil sisi
positif dari game ke dunia nyata. Yang dulunya pendiam, masuk dunia game
jadi banyak bacot dan setelah keluar dia ingin menjadi orang yang tidak
pendiam lagi karena merasa pendiam bukan pilihan yang tepat untuk
dirinya.
Kembali ke masalah tulisan Ainun Najib perihal Negeri Antahbrantah, Provinsi Media Sosial. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan sosial para pecandu game online? Ada kah benang merahnya!? Menurut saya... Dunia media sosial dan dunia game online sama saja... Sama-sama dunia maya. Dimana kita tak pernah tau ekspresi, suasana hati, keadaan atau apapun yang sebenarnya dari pihak penyetatus atau pengomentar.
Di Negeri Antahbrantah, Provinsi Media Sosial kini masyarakatnya telah membebaskan diri berpendapat, dengan dalih kebebasan berpendapat yang telah diatur oleh negara dan dalih untuk menasehati orang lain tanpa menghiraukan adab menasehati itu sendiri. Bebas sebebasnya bahkan menguras emosi si penerima komentar.
Sedangkan si penerima komentar yang merasa tidak terima dengan judgement si pemberi kometar akan cepat sekali menaikkan emosinya. Sehingga keluarlah istilah perang kometar, perang status dan perang tweet. Saling serang dengan senjata sindirannya masing-masing. Sedangkan orang lain seperti sedang membaca drama telenovela yang tak kunjung selesai.
Fakta yang mencengangkan adalah terkadang si penerima komentar sudah keburu terbakar emosi atas komentar yang diterimanya. Kalau sudah begini kata-kata sakti yang akan keluar adalah "Hidup itu Allah yang menentukan, kita yang jalani, orang lain yang mengomentari". Lebih dari itu, kata yang kemudian muncul adalah "Emangnya hidupmu sudah sempurna? Sudah gak ada kurangnya!? Pake ngomentari dan ngurusi hidup orang lain". Kalau sudah seperti ini, kesalahan ada pada kedua belah pihak. Si pemberi komentar mengomentari dengan cara dan waktu yang salah, sedangkan yang dikomentari tak peduli apapun yang diucapkan si pengomentar, asal tidak sesuai dengan kata hati, maka emosilah dia.
Pada dasarnya manusia tidak suka dipersalahkan, apalagi kalau teguran itu disampaikan dengan cara yang tidak baik. Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata: "Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya" Lalu bagaimana dengan menasehati di sosial media yang notabene semua orang bisa membacanya?
Sebenarnya inti tulisan saya yang berlari-larian tanpa arah ini, saya ingin mengatakan bahwa si penerima atau pemberi komentar(yang bermaksud menasehati) mengerti bahwa "Nasehat itu bukan tentang perkara 'aku lebih baik darimu', tapi tentang 'akan ku tunjukkan sesuatu yang lebih baik untukmu'".
Problemnya memang tidak terletak pada perbuatan atau kejadian pembacaan Al Qur'an di Istana itu. Problemnya terletak pada umat Islam Indonesia di provinsi MedSos yang teracuni hatinya, menyempitkan ruang untuk saudaranya, memudahkan lidah (dan jari juga jempol) untuk menyerang, suka mengompori dan dikompori untuk menyerang, dan mudah lupa akan dirinya sendiri dalam prosesnya (Jawa: lali jithoke dewe).Seperti yang pernah saya bahas dalam tulisan berjudul "Kehidupan Sosial Pecandu Game Online", saya menyebutkan bahwa tingkah laku pecandu game online di dunia game oline dan kehidupan nyata sangatlah berbeda. Hal tersebut merujuk pada hasil pengamatan saya terhadap diri saya pribadi dan teman-teman saya baik satu kota mau pun dikota lain. Pada dasarnya saya dan teman-teman merupakan orang yang pemalu dan pendiam. Namun ketika memasuki dunia geme online, kami seolah berubah menjadi orang lain, orang yang berbeda 180°.
Kembali ke masalah tulisan Ainun Najib perihal Negeri Antahbrantah, Provinsi Media Sosial. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan sosial para pecandu game online? Ada kah benang merahnya!? Menurut saya... Dunia media sosial dan dunia game online sama saja... Sama-sama dunia maya. Dimana kita tak pernah tau ekspresi, suasana hati, keadaan atau apapun yang sebenarnya dari pihak penyetatus atau pengomentar.
Di Negeri Antahbrantah, Provinsi Media Sosial kini masyarakatnya telah membebaskan diri berpendapat, dengan dalih kebebasan berpendapat yang telah diatur oleh negara dan dalih untuk menasehati orang lain tanpa menghiraukan adab menasehati itu sendiri. Bebas sebebasnya bahkan menguras emosi si penerima komentar.
Sedangkan si penerima komentar yang merasa tidak terima dengan judgement si pemberi kometar akan cepat sekali menaikkan emosinya. Sehingga keluarlah istilah perang kometar, perang status dan perang tweet. Saling serang dengan senjata sindirannya masing-masing. Sedangkan orang lain seperti sedang membaca drama telenovela yang tak kunjung selesai.
Fakta yang mencengangkan adalah terkadang si penerima komentar sudah keburu terbakar emosi atas komentar yang diterimanya. Kalau sudah begini kata-kata sakti yang akan keluar adalah "Hidup itu Allah yang menentukan, kita yang jalani, orang lain yang mengomentari". Lebih dari itu, kata yang kemudian muncul adalah "Emangnya hidupmu sudah sempurna? Sudah gak ada kurangnya!? Pake ngomentari dan ngurusi hidup orang lain". Kalau sudah seperti ini, kesalahan ada pada kedua belah pihak. Si pemberi komentar mengomentari dengan cara dan waktu yang salah, sedangkan yang dikomentari tak peduli apapun yang diucapkan si pengomentar, asal tidak sesuai dengan kata hati, maka emosilah dia.
Pada dasarnya manusia tidak suka dipersalahkan, apalagi kalau teguran itu disampaikan dengan cara yang tidak baik. Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata: "Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya" Lalu bagaimana dengan menasehati di sosial media yang notabene semua orang bisa membacanya?
Sebenarnya inti tulisan saya yang berlari-larian tanpa arah ini, saya ingin mengatakan bahwa si penerima atau pemberi komentar(yang bermaksud menasehati) mengerti bahwa "Nasehat itu bukan tentang perkara 'aku lebih baik darimu', tapi tentang 'akan ku tunjukkan sesuatu yang lebih baik untukmu'".
No comments:
Post a Comment