SAMPAI KU MENUTUP MATA
Karya Luluk Lutfiyatul Maghfiroh
Nikakhahaa watazwijahaa linafsi bidzaalik.......
Masih terngiang jelas ditelingaku suara Mas Habibi Farhani Hidayatullah suamiku tercinta yang melafalkan dengan lantang kalimat itu. Kalimat yang menjadikan aku yang dulu haram baginya kini menjadi halal untuk disentuhnya.
Rasa merinding ketika dia mengusap kepalaku dan mencium keningku sembari berkata “Anti Sakinatirruh” juga masih terasa sampai saat ini. Rasaya baru beberapa hari kemarin saja kejadian itu berlangsung. Aku merasa bangga dan bahagia karena dianugerahi suami yang sholeh, bertanggung jawab dan penyayang seperti dia. Tapi sayang.........
Belum selesai lamunanku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam. Yaa itu suara salam dari suamiku tercinta yang baru pulang bekerja. Cepat-cepat aku bergegas membukakan pintu untuknya...
“Waalaikumussalam mas” (Ku raih tas yang dibawanya dan ku cium tangannya..)
“Aku sudah siapkan makanan, ayo kita makan dulu” (sambil berjalan ke ruang makan).
“Iya sayang, kamu kenapa? Sepertinya terlihat lelah sekali? Jawab Mas Habibi.
“Aku tidak apa-apa mas, hanya sedikit kurang enak badan saja.” Tegasku
Memang sudah satu bulan ini aku tidak lagi bekerja karena kondisiku yang semakin melemah. Dulu aku mengajar di sebuah sekolah menengah atas di dekat tempat tinggal kami. Tetapi setelah kejadian aku pingsan di sekolah dan opname di Rumah Sakit menyebabkan aku harus banyak beristirahat di rumah. Sebenarnya sudah lima tahun ini aku menderita kanker rahim tapi aku menyembunyikan hal ini dari Mas Habibi karena aku takut mengecewakannya.
Memang sudah sepuluh tahun kita menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Hal ini yang membuat aku semakin merasa bersalah dan hanya mengurung diri di rumah saja. Mas Habibi juga selalu berkata padaku agar aku tidak hanya berdiam diri di rumah saja, tetapi memang kenyataan bahwa aku menderita kanker rahim sehingga aku tidak bisa memberikan keturunan adalah hal yang berat yang harus aku jalani tanpa sepengetahuan Mas Habibi.
Akhirnya aku memutuskan untuk bersilaturrahim ke pesantren tempat aku menimba ilmu dulu ketika aku menyelesaikan S.1 ku. Sekedar ingin berkunjung dan melihat keadaan pesantren juga karena rindu dengan keluarga ndalem.
Sesampainya di pesantren aku berjalan menyusuri kamar santri, perpustakaan, aula dan taman pesantren. Semuanya sudah berubah tidak sama seperti dulu ketika aku masih menjadi santri. Kangen rasanya masa-masa menjadi santri, tidur berdesak-desakan, makan seadanya, semuanya harus mengantri dan yang paling tidak terlupakan adalah saat-saat mengaji yang terkadang ada yang mengantuk, males ataupun capek karena seharian di kampus. Yaaa itu sudah menjadi resiko kami selaku Mahasiswi dan Mahasantri.
Akupun bergegas ke ndalem karena ingin menemui pak kyai dan keluarganya. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat di taman ada seorang perempuan berkerudung merah bersama anak kecil yang sedang menangis. Rasa penasaranpun mendorongku untuk mendekati perempuan tersebut sembari mengucapkan salam....
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumussalam, ada yang bisa saya bantu?” Perempuan itu menjawab dengan suara yang lembut.
“Annisa? Kamu Annisa Nurul Madina kan? Adik kelasku dulu?” Tegasku dengan nada yang terkejut.
“Ya Allah mbak Khumairah?” jawabnya.
“Iya ini aku Nis, kamu apa kabar?” tanyaku lagi.
“Baik mbak alhamdulillah. Mbak sendiri bagaimana? Kapan berkunjung kesini....?”
....Dan masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul sehingga mengharuskan kami untuk berbincang-bincang dan melepas rindu.
Annisa Nurul Madina adalah adik kelasku dulu ketika kami sama-sama menyelesaikan sekolah di jenjang strata satu. Kami juga pernah satu kamar dan satu kepengurusan. Dia termasuk salah satu santri putri yang cerdas dan cantik juga. Tetapi setelah aku lulus dan menikah kami memang tidak pernah menjalin komunikasi lagi.
Lama berbincang-bincang ternyata tak terasa sudah sangat petang dan ketika aku hendak pulang hujanpun menyambutku dengan penuh riang gembira. Karena deras hujan yang turun akhirnya aku memutuskan untuk bermalam di pesantren. Tak lupa aku meminta ijin pada Mas Habibi untuk menginap di pesantren.
Annisa menawariku untuk tidur di kamarnya dan dengan senang hati pula aku menerima tawaran tersebut. Kamar Annisa begitu rapi dan bersih. Koleksi buku-bukunya juga tertata rapi di lemari. Saat melihat-lihat buku yang ada di meja Annisa matakupun tertuju pada sebuah buku kecil berwarna coklat dan bertuliskan “Semangat Hidupku”. Ku ambil buku itu dan ku buka lembar perlembar dari buku tersebut. Tetapi betapa terkejutnya aku ketika membuka lembar yang terakhir terdapat foto seorang laki-laki yang familiar bagiku dan saat ku balik foto itu ku baca tulisan “Habibi Farhani Hidayatullah”. Deras rasanya aliran darahku mengalir, seperti tersambar petir dan terasa sakit pula hati ini. Ku tutup lagi rapat-rapat buku itu dan ku kembalikan ketempat semula. Langsung ku baringkan tubuh ini di tempat tidur sambil berpikir apa yang telah terjadi.
Dulu sewaktu masa kuliah Annisa pernah bercerita bahwa ia tengah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, tetapi ia tidak pernah mengatakan siapa laki-laki tersebut. Sedangkan antara aku dan Mas Habibi menikah karena lantaran orang tua yang menjodohkan kita.
Ku ingat kata-kata Annisa yang mengatakan bahwa sampai saat ini ia belum ingin mengakhiri masa lajangnya karena dirasa belum menemukan sosok yang tepat dengannya. Dan terakhir kali Annisa mengatakan bahwa ia masih belum bisa melupakan laki-laki yang dulu pernah mengisi hari-harinya selama dua tahun. Sepertinya semua telah terjawab.
Tepat pukul 07.00 aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku tidak langsung berpamitan dengan Annisa karena ia sudah berangkat bekerja. Aku hanya meninggalkan surat kecil dan ku taruh di atas meja kerjanya.
Sepulang dari pesantren rasanya tubuhku sangat lelah dan aku membaringkan diri di kamar. Ku lihat foto pernikahanku dengan Mas Habibi yang menempel di dinding. Ku buka lagi album kenanganku dulu. Tanpa terasa air mataku mengalir. Ku putuskan untuk mengambil air wudhu ke kamar mandi dan..... semua terasa gelap...
Ketika mataku terbuka ku lihat seorang laki-laki tepat berada di sampingku. Yaa itu Mas Habibi.
“Kamu pingsan di kamar mandi sayang..” tegur Mas Habibi.
“Sebaiknya kamu istirahat dulu dan nanti sore kita periksa ke dokter.”
Keadaanku semakin memburuk dan aku dianjurkan untuk rawat inap di rumah sakit. Aku meminta kepada dokter untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada Mas Habibi karena aku takut mengecewakannya.
Dua hari sudah aku menginap di rumah sakit dan akhirnya aku diijinkan untuk kembali ke rumah dan berobat jalan. Tetapi karena keadaanku yang masih lemah aku harus duduk di kursi roda. Sesampainya di rumah aku langsung menghubungi Annisa dan meminta ia untuk datang ke rumah. Tak lama kemudian Annisa datang dan betapa sangat terkejutnya Mas Habibi ketika melihat kedatangan Annisa. Ku ajak mereka berdua berkumpul di ruang tamu.
“Mas Habibi, Annisa... maaf sudah membuat kalian terkejut. Aku sudah mengetahui semuanya. Aku tahu bahwa dulu kalian sempat menjalin hubungan. Dan aku juga tahu kalau Annisa masih sangat menyayangi Mas Habibi, begitu juga sebaliknya. Aku ingin kalian bersatu lagi..”
“Maksud kamu apa sayang?” Sela Mas Habibi.
“Maaf mas aku belum selesai berbicara, aku sudah tidak mungkin lagi menemanimu lebih lama. Aku terkena kanker rahim mas. Dan mungkin hidupku tidak akan lama lagi....”
Belum selesai ku berbicara Mas Habibi langsung memelukku dan menangis. Memang berat yang harus dijalani, tapi aku sangat yakin bahwa menikah dengan Annisa adalah pilihan yang sangat tepat. Aku ingin melihat kebahagiaan dan senyuman haru di saat-saat terakhirku.
Hari jumat, 1 januari 2012 bertepatan dengan 10 tahun usia pernikahanku dengan Mas Habibi, akhirnya pelaksanaan akad nikah itupun berlangsung. Hanya dihadiri oleh masing-masing dari keluarga kami dan penghulu serta beberapa saksi. Kini resmi sudah mereka menjadi suami istri.
Selesai acara itu rasanya lelah sekali dan mataku terasa berat. ku baringkan badanku ke tempat tidur, kupanggil Annisa dan Mas Habibi. Tampak juga semua keluarga mengeliliku. Aku ingin melihat senyuman mereka di saat-saat terakhirku. Aku berpesan kepada Mas Habibi dan Annisa untuk selalu saling menyayangi dan mencintai sampai maut memisahkan mereka. Kuambil kado yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya dan kuberikan pada mereka berdua. Kado itu berisi surat kecil dan sebuah jilbab berwarna coklat muda yang dulu pertama kali Mas Habibi berikan kepadaku.
Teruntuk Suamiku Tercinta
“Habibi Farhani Hidayatullah”
Kado terindah dalam hidupku adalah bertemu denganmu
Hadiah spesial sepanjang hayatku adalah hidup denganmu
Kenangan termanis yang tidak akan pernah aku lupakan adalah menjadi istrimu
Dan hal terbesar selama hidupku adalah menjadi Sakinatirruhmu
Tak akan pernah ku sesali menjalin tali kasih dengan mu
Tak akan pernah ku tangisi semua yang menjadi takdirku
Hanya aku bersedih karena belum sempat membahagiakan mu
Kini tibalah waktunya aku harus pergi
Pergi untuk meninggalkan mu dan meninggalkan dunia ini
Tetapi hanya ragaku saja yang akan pergi
Karena sesungguhnya jiwaku selalu bersama mu
Terima kasih untuk hari-hari yang membahagiakan bersama mu
Terima kasih untuk semua cinta yang kau beri untuk ku
Dan Terima kasih sudah mengijinkan ku menjadi bagian dalam hidupmu
Aku sangat beruntung karena sempat memiliki mu.......
Istrimu Tersayang
“Khumairah”
Rasanya ingin sekali memejamkan mata ini. Akhirnya aku sudah dapat bernafas lega karena telah mempersatukan dua insan yang saling mencintai dan harus berpisah selama 10 tahun. Aku juga sudah melihat senyum terakhir mereka yang tulus, senyum yang selalu menghiasi hari-hariku....
Kini hanya akan ada bayangan dan jejak kehidupan Khumairah yang penuh dengan lika liku kebahagiaan dan kesedihan. Keikhlasan dan kebesaran hatinya akan selalu menjadi hiasan terindah dalam memori setiap insan yang mengenalnya. Rasa cinta kepada suaminyapun tak akan pernah lekang oleh waktu. Karena sesungguhnya cinta dan kasih sayangnya....”sampai menutup mata....”
Sekian....
“Keikhlasan dan ketabahan hatilah yang akan membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki, dimana ketika kita mendapatkan cobaan harus sebijak dan sedewasa mungkin dalam menyikapinya. Keep Spirit n Always Smile for all..^_^
No comments:
Post a Comment